TRADISI tulisan di Nusantara mulai menggeliat, ketika para Brahmana—kaum cendekiawan dari India Selatan—menjejakkan kakinya di Asia Tenggara pada abad keempat. Pendeta, pujangga, dan budayawan mengenalkan Aksara Pallawa sebagai media penyebaran agama Hindu. Saat masuk ke Pulau Jawa, huruf Pallawa yang semula berbahasa Sanskerta berevolusi menjadi Bahasa Jawa Kuno.
Sastra dari India yang dikembangkan di Jawa bukan hanya mengubah kebahasaan, tapi juga memperkaya segi penyajian tulisan. Dalam dunia modern, istilah itu dikenal dengan font atau bentuk huruf. Nah, salah satu jenis font unik dari peradaban Jawa Kuno, yaitu Aksara Kuadrat. Kata “kuadrat” merujuk pada desain hurufnya yang berbentuk kotak atau persegi.
“Jenis huruf ini dulu dikenal dengan nama Aksara Kadiri Kuadrat,” kata Aang Pambudi Nugroho, kandidat master Arkeologi Universitas Gajah Mada, Jumat 9 April 2021.
Dia menambahkan, para ahli epigrafi atau tulisan kuno sebelumnya menyematkan kata “Kadiri” untuk menyebut Aksara Kuadrat. Sebab, tulisan bercorak Kuadrat dulunya hanya ditemukan pada situs arkeologi di area Kediri. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan, gaya serupa ternyata ditemukan di kawasan lain. Di antaranya, Magetan, Bojonegoro, Jember, dan Bali. Hal itulah yang mendasari penghilangan kata “Kadiri”.
Keunikan Aksara Kuadrat terletak pada bentuk visualnya ketika dituliskan ke prasasti. Jika lazimnya prasasti dihiasi rangkaian kata-kata yang dipahat ke dalam atau dilubangi, gaya kuadrat justru sebaliknya. Tulisan dibentuk 3 dimensi dengan huruf menonjol ke luar atau timbul, mirip relief candi. Dari kajian epigrafi, Aksara Kuadrat bersifat ornamental yang lebih mengedepankan unsur keindahan.
Salah satu tinggalan arkeologi yang memakai langgam Aksara Kuadrat yaitu Prasasti Lucem di Dusun Mojoduwur, Desa Puhsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Dipahat pada batu alam berukuran 2 meter, terdapat empat baris kalimat berbahasa Jawa Kuno.
Di tubuh prasasti, sejumlah tanda baca dipahat melengkung. Tiap-tiap ujungnya lancip, menyerupai tulisan kaligrafi di kebudayaan Islam. Masyarakat sekitar mengenal prasasti yang dibuat tahun 1012 Masehi itu dengan sebutan Watu Tulis. Benda bersejarah di lereng Gunung Wilis itu berada di bawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya atau BPCB Trowulan Jawa Timur.
“Aksara Kuadrat ini dipopulerkan oleh keturunan Dinasti Isyana atau Mpu Sindok pada abad ke 10,” ujar Aang.
Ketua Komunitas Jawa Kuno Soetasoma itu mengatakan, teknik menulis aksara mulai dibentuk persegi ketika Mpu Sindok menjadi penguasa Mataram Kuno periode Jawa Timur. Kecenderungan itu berlanjut ke periode kerajaan keturunan Mpu Sindok. Antara lain, di masa akhir kerajaan Medang yang dipimpin Dharmawangsa Tguh, kerajaan Kediri yang dipimpin Airlangga, hingga di era Singhasari. Di periode kerajaan setelah Singhasari, teknik Kuadrat tidak lagi digunakan.
“Secara politis, Aksara Kuadrat juga dipakai untuk menandai wilayah kekuasaan,” kata Aang.
Menurutnya, setiap periode kekuasaan di Jawa mempunyai ciri khas arsitektur yang berbeda-beda. Keberadaan Aksara Kuadrat dapat dijadikan penanda jika eksistensi kerajaan bukan hanya dilihat dari bangunan suci atau candi, tapi bisa juga lewat prasasti. Demikian pula Prasasti Lucem yang berangka tahun 1012.
Sayangnya, enkripsi di Lucem tidak menyebutkan secara spesifik dibuat pada era raja siapa. Kajian dari para arkeolog menyebutkan, setelah masa pemerintahan Mpu Sindok ada masa gelap sampai pemerintahan Dharmawangsa Tguh.
Kalimat yang tertera di prasasti tersebut pernah dibaca seorang epigraf bernama Prof MM Sukarto Kartoatmojo. Jika dibahasakan secara latin berbunyi, “934 tewek ning hnu bineheraken da Mel samgat Lucem mpu Ghek sang apanji tepet i pananem boddhi waringin.” Artinya adalah “Tahun 934 Saka batas patok jalan diluruskan oleh Samgat Lucem pu Ghek Sang Apanji Tepet dengan penanaman pohon beringin”. Samgat, jika diartikan dari bahasa Sanskerta artinya adalah hakim.
“Kalimat di Prasasti Lucem menggunakan Aksara Jawa Kuno dengan penulisan seperti puisi yang berbait,” ujar Aang.
Seiring perkembangan zaman, aksara yang eksis seribu tahun lalu seperti yang tertera di Prasasti Lucem itu mengalami beragam perubahan bentuk dan komposisi. Datangnya pengaruh Islam pada abad ke-16, membuat Aksara Jawa disederhanakan lagi menjadi pola yang dikenal sekarang sebagai Hanacaraka.
Menurut Aang, tulisan dari masa Jawa Kuno menjadi bukti peninggalan penting untuk dipelajari lebih lanjut. Tiap kalimat yang termuat di dalam prasasti mendedahkan beragam informasi berharga. Keberadaannya menjadi kunci menggali wawasan kebudayaan masa lalu, yang kemudian bisa menjadi pedoman di kehidupan sekarang maupun yang akan datang. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post