SAAT Belanda hendak membuka perkebunan kopi di lereng Gunung Kelud pada 1916, dari semak belukar, ditemukan sebuah prasasti dari Kerajaan Mdang atau Mataram Kuno. Benda arkeologis yang berasal dari Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri ini populer dengan sebutan Prasasti Harinjing.
“Prasasti Harinjing merupakan prasasti tertua di Indonesia yang ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno,” kata Eko Priatno, kasi Museum dan Purbakala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Jumat, 9 April 2021.
Eko menambahkan, angka 726 saka atau 25 Maret tahun 804 Masehi yang tertera di tubuh prasasti, dijadikan rujukan dalam menentukan hari jadi Kabupaten Kediri. Hal itu didasarkan pada enkripsi Prasasti Harinjing yang terdapat kata “Khadiri”. Dengan kata lain, Prasasti Harinjing merupakan cikal bakal berdirinya kawasan bernama Kediri.
Dalam penelitian MM Sukarto Kartoatmojo, ahli epigrafi, disebutkan bahwa Kediri berasal dari kata “diri” yang artinya adeg atau berdiri. Jika ditambahkan awalan ka, dalam bahasa Jawa kuno berarti menjadi raja. Dari uraian itulah selanjutnya terjadi perubahan toponim dari Kadiri menjadi Kediri.
“Prasasti Harinjing kini disimpan di Museum Nasional Jakarta,” ujar Subagiyo, Kepala Desa Siman.
Prasasti tersebut sudah berada di Jakarta sejak jaman Kolonial Belanda. Usai ditemukan oleh W. Pet, Administratur Perkebunan Kopi Belanda, batu itu dipindahkan ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschaapen atau sekarang disebut Museum Nasional. Prasasti Harinjing dicatat dengan kode D 173. Peristiwa pemindahan itu dimuat dalam laporan Oudheidkundige Dienst atau Dinas Purbakala Hindia Belanda tahun 1916.
Usai Prasasti Harinjing dipindahkan, di lokasi penemuan kini hanya menyisakan dua prasasti. Kedua batu itu bernama Prasasti Paradah 1 yang dibuat pada 921 Masehi dan Prasasti Paradah 2 dengan angka tahun 927 Masehi.
“Meski tahunnya berbeda, baik Prasasti Harinjing, Paradah 1, dan Paradah 2, kisah-kisah di dalamnya saling berhubungan,” jelas Eko.
Secara garis besar, ketiga prasasti itu menceritakan kegigihan seorang tokoh bernama Bhagawanta Bari. Dia hidup di masa pemerintahan Rakai Warak Dyah Wanara, penguasa kerajaan Mataram Kuno pada tahun 803 Masehi.

Pendeta agung itu dianggap berjasa karena membangun tanggul di Sungai Serinjing atau Harinjing. Bendungan tersebut berfungsi menanggulangi bencana banjir akibat aliran lahar dingin Gunung Kelud. Selain itu, tanggul berguna sebagai irigasi persawahan, sehingga berhasil meningkatkan hasil pertanian warga di masa lampau.
Kerja keras yang dilakukan Bhagawanta Bari mendapat ganjaran dari penguasa. Daerah lereng Kelud yang dulu bernama Culangi itu dianugerahi hak sima atau perdikan, yang berarti kawasan bebas pajak. Tanah yang dibebaskan dari pajak itu diberikan raja kepada masyarakat yang dianggap berjasa.
Kisah itu berlanjut pada narasi di Prasasti Paradah 1. Kisahnya menceritakan tentang raja Rakai Layang Dyah Tulodong menguatkan kembali status sima Bhagawanta Bari pada 921 Masehi. Anugerah berupa tanah bebas pajak diperpanjang hingga pada keturunan Bhagawanta Bari.
Apa yang dilakukan Bhagawanta Bari di masa lalu itu masih bisa dirasakan hingga kini. Berkat pembangunan Sungai Harinjing sekitar seribu tahun lalu, masyarakat di Desa Siman dan sejumlah kawasan lainnya amat jarang dilanda kebanjiran. Kondisi tanah yang semakin subur, juga menarik Belanda membuka sejumlah perkebunan di lereng Gunung Kelud.
Subagiyo menambahkan, jasa Bhagawanta Bari akan selalu dikenang. Salah satunya, melalui berdirinya patung di perempatan desa. Selain sebagai wujud apresiasi, itu menjadi pengingat jika perbuatan baik harus terus diteladani. (Vicky Prastyo Eko Desantoro, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNP Kediri, sedang magang di Kediripedia.com dalam Program Kampus Merdeka Kemendikbud)
Discussion about this post