TIDAK banyak yang tahu jika aksara Jawa ternyata bukan hanya Hanacaraka. Hal itu bisa dilihat ketika Komunitas Jawa Kuno Sutasoma mengikuti berbagai pameran kebudayaan beberapa tahun terakhir. Ketika pengunjung melihat beragam bentuk huruf Jawa, muncul sejumlah pertanyaan.
“Ternyata masih ada yang lebih tua dari Hanacaraka ya?”.
“Kenapa bisa berubah, berarti pada zaman Kerajaan Hindu-Buddha masih menggunakan yang Jawa Kuno ya?”.
Rentetan pertanyaan tersebut bisa dimaklumi, karena pengetahuan masyarakat terkait aksara Jawa Kuno dan bahasanya, masih minim. Misalnya, tentang sastra Jawa yang mengalami perubahan dari era ke era. Keberadaannya dibagi menjadi tiga bagian yaitu Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, dan Jawa Modern (Hanacaraka).
Sastra Jawa Kuno mengalami puncak kejayaan di masa Kerajaan Kediri. Karya-karya itu berbentuk puisi, sebagian ada yang berupa prosa atau gancaran. Ragam bentuk karya sastra itu kemudian dikenal dengan istilah kakawin.
Dalam penulisannya, kakawin terikat oleh irama, matra (ukuran panjang-pendek vokal), rima (persajakan), serta disusun setiap bait terdiri empat baris yang disebut pupuḥ (sarga). Dengan demikian, tulisan dari Jawa Kuno dapat dinyanyikan atau ditembangkan.
Pada masa Kerajaan Kaḍiri atau abad 12 Masehi, karya itu disusun oleh para pujangga atau memiliki sebutan “sang kawi”. Tradisi penulisan kakawin mulai populer ketika pusat pemerintahan Kerajaan Hindu-Buddha berpindah ke Jawa bagian Timur. Naskah paling tua berasal dari abad 11 Masehi, di era pemerintahan Raja Airlangga.
Pada masa itu, terdapat Kakawin Arjunawiwāha karangan Mpu Kanwa. Selanjutnya pada Kerajaan Kaḍiri abad 12 Masehi, penulisan karya sastra kakawin makin tumbuh subur dan mencapai puncak kejayaan.

Hal itu dibuktikan dengan banyaknya karya sastra yang berasal dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya pada 1135-1157 Masehi. Antara lain, Kakawin Hariwangśa, Bhāratayuddha, Gaṭotkacaśraya, dan Hariwangśa. Naskah-naskah itu digubah oleh Mpu Panuluh dan Mpu Sêdah. Selain itu, pada periode tersebut juga ditemukan kitab Kṛṣṇāyana gubahan Mpu Triguṇa.
Selanjutnya, pada pemerintahan Raja Kāmeśwara 1182-1185 Masehi terdapat Kakawin Smaradahana gubahan Mpu Dharmaja. Serta dari masa pemerintahanRaja Kṛtajaya 1190-1222 Masehi telah digubah Kakawin Sumanasāntaka oleh Mpu Monaguṇa. Juga Kakawin Lubdhaka oleh Mpu Tanakung diperkirakan berasal dari pemerintahan Raja Kṛtajaya (Zoetmulder, 1974; Sedyawati, 1985; Suarka, 2009).
Ada pula literasi tentang Cerita Panji yang populer dalam beberapa tahun terakhir. Kisah-kisah itu telah ditetapkan UNESCO ditetapkan sebagai “Memory of the Word” (Ingatan Dunia) pada 31 Oktober 2017.
Semua karya di atas merupakan hasil gagasan atau pemikiran tertulis dari para pujangga dari masa Kerajaan Kaḍiri. Gagasan atau pemikiran tersebut disampaikan melalui cerita epos kepahlawanan dari India. Namun, telah melalui penyaduran ulang sehingga memiliki gaya penulisan asli Jawa Kuno.
Terdapat tema-tema yang dapat dipetik dari isi kakawin-kakawin di atas. Antara lain jiwa kepahlawanan, kesusilaan, nilai dan norma sosial, kehidupan religius, gender, perempuan, tatanan kewilayahan, siasat tempur, integrasi sosial, hubungan manusia dengan lingkungan alam, rasa toleransi antar umat manusia, dan berbagai tema-tema lainnya yang dapat ditemukan dalam isi cerita kakawin.
Bertepatan dengan Hari Buku Sedunia yang diperingati tiap 23 April, tidak ada salahnya jika menengok kembali literasi dari naskah-naskah kuno. Lalu, dimanakah bisa didapatkan buku-buku yang membahas kakawin–kakawin di atas. Jawabannya, terdapat pada perpustakaan yang menyimpan dan memiliki koleksi literasi atau pustaka tersebut.
Selain itu, bisa didapatkan dari para akademisi atau peneliti yang menggeluti bidang keahlian serta tertarik dalam kajian tentang naskah Jawa Kuno. Misalnya, perpustakaan pribadi Panji Pustaka Kadiri hanya memiliki beberapa koleksi dari kakawin–kakawin yang telah disebutkan di atas. Warisan budaya Nusantara yang tertulis rapi dalam rontal-rontal (lontar) kuno, sudah dialih-aksarakan maupun dialih-bahasakan oleh para peneliti naskah kuno (filolog).

Apabila meminjam buku, diharapkan dengan jujur dan hati terbuka untuk mengembalikan. Mengingat, buku-buku tentang kakawin tergolong langka. Hal ini yang terkadang membuat beberapa akademisi atau peneliti enggan meminjamkan buku karena sering tidak kembali. Bahkan, penulis pernah menemukan sendiri buku milik seorang teman yang dijual oleh peminjamnya.
Akan tetapi, jika tertarik untuk mempelajari langsung aksara Jawa Kuno, bisa menemui komunitas pelestari sejarah dan budaya. Salah satunya, Komunitas Jawa Kuno Sutasoma. Kelompok ini memiliki beberapa anggota yang memiliki pengetahuan tentang aksara dan bahasa Jawa Kuno. Selain itu, mereka juga memiliki para mitra dari komunitas aksara Jawa Kuno maupun Nusantara yang siap berbagi pengetahuan.
Dalam rangka Hari Buku Sedunia 23 April 2021, beragam pengetahuan tentang Nusantara perlu dikuatkan. Selain menambah wawasan, apa yang terkandung di dalam karya sastra kuno dapat dijadikan pijakan dalam kehidupan masa kini dan masa mendatang. (A’ang Pambudi Nugroho, Pendiri sekaligus Ketua Komunitas Jawa Kuno atau KOJAKUN Sutasoma)
Daftar Rujukan
Sedyawati, E. 1985. Pengarcaaan Gaṇesa Masa Kaḍiri dan Siŋhasāri: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Disertasi tidak diterbitkan. Jakarta: Pascasarjana UI.
Suarka, I.N. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan.
Zoetmulder, P.J. 1974. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Panjang. Terjemahan Dick Handoko SJ.1985. Jakarta: Djambatan.
Discussion about this post