Jika mayoritas petani mengeluhkan datangnya musim kemarau, perajin gula merah di Slumbung, Ngadiluwih, Kediri justru bergembira. Meroketnya rendemen tebu membawa berkah.
KETIKA langit cerah, asap membumbung di sejumlah titik di angkasa. Sesaat kemudian, asap itu hilang. Silih berganti, asap muncul di titik lain.
Sebuah pemandangan yang khas di Desa Slumbung, Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Deretan asap pertanda produksi di sentra gula merah Slumbung sedang berlangsung.
Terdapat 35 rumah industri gula merah yang terbuat dari tebu di Slumbung. Tak semua perajin gula merah berproduksi. Aktifitas mereka tergantung pemesanan dan ketersediaan bahan baku.
“Kalau mau pesan, paling nggak ada uang muka 20 persen dulu, baru kami produksi. Belajar dari pengalaman. Ada yang pesan, tapi nggak diambil. Kami yang rugi,” kata H Abdul Karim, salah seorang perajin kepada kediripedia.com, Kamis (27/08/2015).
Nah, musim kemarau ini menjadi saat yang dinanti oleh para perajin gula merah Slumbung. Kapasitas produksi gula merah melonjak. Rendemen tebu meningkat tajam selama musim kemarau.
Pada musim kemarau, rendemen tebu berkisar 11 persen. Karim yang perharinya menghabiskan 10 ton tebu bisa memproduksi 1,1 ton gula merah. Rendemen ini meningkat dibanding musim hujan yang berkisar 7,5 persen. “Kalau musim hujan, 10 ton tebu hanya menghasilkan 7,5 kuintal gula merah satu hari,” ujarnya.
Meski harga gula merah batok mengalami penurunan dari Rp 7.500,- / kg menjadi Rp. 7.000,-/ kilogram, namun keuntungan Karim secara keseluruhan meningkat. Karena produksinya melonjak 30 persen.
Keuntungan lain yang diperoleh selama musim kemarau adalah penghematan bahan untuk proses pembakaran. Jika selama musim hujan, Karim harus mengeluarkan biaya Rp. 1.500.000,- setiap 3 hari untuk membeli satu truk kayu bakar, sekarang dia bisa memanfaatkan sisa gilingan tebu yang kering.
Karim memulai produksi gula merah sejak tahun 1987. Dia tak langsung memulai usaha sebagai perajin gula merah. Mulanya, dia adalah buruh tebang tebu. Namun, dia memutuskan mencari modal dan mencoba usaha produksi gula merah sendiri, “Saat awal memulai, saya paling banyak menggiling lima kuintal tebu,” kisahnya.
Kini, satu hari Karim menggiling 10 ton tebu. Sebanyak 8 tenaga kerja menangani proses penyulingan dan mesin penggilingan tebu.
Ada dua buruh yang berkutat di mesin penggilingan tebu. Satu buruh memasukkan beberapa batang tebu ke mesin penggilingan yang terus berputar. Secara otomatis, air perahan masuk ke mesin penyulingan melalui pipa dan tersambung ke satu unit mesin lainnya.
Seorang buruh lainnya mengambil ampas sisa penggilingan. Mengumpulkannya. Kemudian, mengangkut ke sebuah gudang terbuka. Nah, ampas ini justru dimanfaatkan pada proses pembakaran proses penyulingan.
“Dulu waktu masih belum ada mesin, penggilingan ini digerakkan kerbau. Sekarang sudah nggak ada yang pakai kerbau,” ungkap Karim tersenyum, seraya memperagakan cara kerja kerbau yang bergerak memutar mesin penggilingan tebu.
Proses penyulingan berjarak 20 meter dari tempat penggilingan. Buruh di kelompok kedua lebih banyak, ada empat orang. Mereka melakukan proses penyaringan dari satu bak yang terbuat dari semen setinggi 1,5 meter ke kotak lainnya.
Kemudian membuka saluran dan memindahkan ke bak penyaringan berikutnya. Proses pemasakan di atas tungku dengan suhu 110 derajat celcius. Hingga di kotak terakhir, tingkat konsentrasi atau kekentalan sari tebu sudah tinggi. Lalu, proses pencetakan.
Kelangsungan produksi tebu ini disokong oleh ketersediaan bahan baku.Kabupaten Kediri adalah salah satu daerah yang potensi tanaman tebunya cukup luas di Jawa Timur. Luas areal tebu di Kabupaten Kediri 24.701 Ha dimana 20.933 Ha merupakan tanaman tebu rakyat.
Sebagian besar tebu terserap untuk tiga pabrik gula besar di Kediri. Antara lain; Pabrik Gula Pesantren, PG Ngadirejo dan PG Mrican. Sisanya tersebar untuk industri gula merah masyarakat.
Produksi gula merah slumbung juga didukung oleh tingginya permintaan. Tak hanya pasaran lokal. Banyak juga tengkulak yang mengambil produksi gula merah Slumbung untuk didistribusikan ke Jakarta, Nusa Tenggara Barat dan Pulau Kalimantan. Sebagian pengrajin bahkan pernah mengekspor gula merah ke Jepang. Ada beberapa jenis gula merah yang diproduksi di Slumbung, jika dilihat dari bentuknya. Yakni, gula merah batok besar, batok kecil dan gula merah koin.
Namun, paling banyak diproduksi jenis gula merah batok besar yang cetakannya menggunakan cangkang kelapa.
Harga gula merah batok besar juga termurah diantara jenis lainnya, Rp 7000,- hingga Rp 8000,-/kg. Harga gula merah batok kecil dan koin justru lebih tinggi dikarenakan tingkat kesulitan pencetakannya yang menggunakan papan cetak lebih tinggi.
“Gula merah Slumbung memiliki kelebihan dibanding gula merah di daerah lain. Selain kualitasnya yang bagus, gula merah Slumbung lebih tahan lama. Bisa tahan sampai satu bulan,” ungkap Muhammad Zen, seorang perajin muda.
Kendati demikian, para pelaku industri gula merah slumbung masih memiliki pekerjaan rumah untuk melakukan modernisasi peralatan dan membuka akses pasar yang lebih luas. (Danu Sukendro)