DI umurnya yang baru menginjak 10 tahun, Madjid Panjalu,kerap mementaskan wayang di berbagai acara komunitas di Kediri, Jombang, dan Nganjuk. Bahkan pada tahun 2023, dalang cilik itu tampil di Malaysia.
“Awal tampil deg-degan, gemetar,” kata Madjid, Selasa 7 April 2025.
Putra pasangan Sunarno dan Ulya ini mulai tertarik dengan dunia pewayangan pada usia 5 tahun. Hal itu bermula ketika setiap malam ayahnya memutar wayang di Youtube sebagai pengantar tidur. Kebiasaan tersebut menarik minat Madjid mengenal dunia wayang lebih luas.
Sejak saat itu, Madjid mulai dikenalkan pada karakter-karakter wayang dan makna filosofis di baliknya. Dia juga diajak bertemu dengan para dalang, berkunjung ke ISI Solo, dan Taman Budaya Solo.
Dari mulanya hanya tertarik menonton, Madjid akhirnya terdorong untuk mementaskan wayang. Awalnya, dia tampil di lingkungan tempat tinggalnya sehari-hari yaitu di Sekolah Alam Ramadhani, Mojoroto Kota Kediri. Berkat kepiawaiannya memainkan wayang, Madjid mulai dikenal sebagai dalang cilik. Dia makin sering tampil di acara komunitas, diundang di kegiatan lembaga pemerintahan, hingga tampil di Festival Janda Baik di Pahang Malaysia.
“Setelah sering pentas jadi senang, apalagi banyak yang nonton,” ujar anak kelas 4 SD itu.
Selain menampilkan cerita klasik, bocah kelahiran 11 September 2014 itu kerap menyisipkan isu-isu kontemporer. Misal dalam lakon “Gemati Marang Bumi” yang mengangkat fenomena perubahan iklim, serta “Nguripi Kali Brantas” yang menyuarakan pentingnya menjaga kebersihan sungai.
Gaya pementasan Madjid mengusung konsep Wayang Cekli. Versi pertunjukan wayang ini lebih singkat, padat, dan tak terlalu banyak iringan gamelan. Cerita yang dibawakan cenderung sederhana agar mudah dimainkan. Sebagian besar teks pementasan ditulis ayahnya. Namun, ketika pentas Madjid tak jarang berimprovisasi.
Inspirasi Madjid memainkan wayang yaitu Ki Sigid Ariyanto. Dalang bergaya Surakarta ini terkenal dengan teknik sabet yang luwes dan ekspresif.
“Paling seneng sama Pak Sigid karena sabetannya bagus. Aku juga pakai gagrak Surakarta kayak beliau,” ujar Madjid.
Perjalanan Madjid sebagai dalang cilik tak lepas dari bimbingan keluarga, guru, dan komunitas seni. Namun, di usianya yang masih anak-anak suasana hati atau moodnya kerap berubah-ubah. Jika dalam latihan tiba-tiba tak kondusif, terkadang dia tak mau melanjutkan.
“Kalau misalkan mogok. Ya sudah, latihan berhenti dulu, menunggu mood senang bergembiranya kembali,” ujar Sunarno, ayah Madjid.
Dia menambahkan, sebagai orang tua, terkadang ada godaan untuk otoriter. Namun, upaya memaksa dan menekan Madjid sebisa mungkin dihindari. Lebih baik, anak diajak komunikasi interaktif, sembari memahami alam pikiran, emosional, gaya belajar, serta perilakunya.
Di usia anak-anak, Madjid dibebaskan bermain sesuai kesukaannya. Dia kini gemar bermain sepak bola dan miniatur bus, sembari terus mengasah kemampuan mendalang.
Beberapa video pementasan Madjid diunggah ke kanal YouTube Dunia Madjid. Salah satunya, lakon Salya Gugur yang bisa dimanfaatkan orang tua sebagai media literasi anak-anak. (Junio Boy Smara Dinso, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNP Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post