Karya lukisan wayang pada media kaca yang sarat makna di Menang, Kabupaten Kediri. Sudah sampai di tangan Jokowi dan Prabowo.
IMRON AGUS TRIONO jongkok di teras depan rumahnya. Jemari tangannya memegang silet, memangkas ‘rambut’ kuas cat air. “Biar runcing. Enak digunakan mengecat di atas kaca,” kata Imron.
Sebenarnya, ada kuas khusus. Namun, harganya lebih mahal. Imron juga sudah terbiasa dengan kuas murah yang dimodifikasi sedemikian rupa itu.
Usai meraut kuas, pria 40 tahun ini masuk ke ruangan rumah paling depan. Sebuah ruang berukuran 4 x 5 itu dimodifikasi menjadi sanggar merangkap galeri. Ruangan yang terkesan berantakan. Ada motor bebek. Tumpukan kardus. Perkakas yang tersebar di beberapa sudut ruang. Rak kayu berisi belasan kaca.
Sejumlah lukisan kaca bergambar lakon pewayangan terpajang di dinding. “Itu lukisan Arjuna Wiwaha,” paparnya, sembari menunjuk lukisan yang menggambarkan Arjuna dan raksasa Niwatakawaca. Sebuah kisah yang merujuk pada kisah pewayangan Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa pada 1030 Masehi.
Harga lukisan Arjuna Wiwaha ini Rp 7 juta. Selain itu, juga terdapat lukisan Panji Asmorobangun Rp. 2,5 juta. Di samping pintu masuk rumahnya, ada kaca berukuran 1,5 meter X 1 meter yang belum terlukis di atas meja.
Lukisan lakon pewayangan adalah ciri khas Imron yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. “Melalui karya ini, saya ingin mengangkat budaya Jawa,” tegasnya.
RUMAH MERANGKAP SANGGAR itu terletak tepat di depan kawasan Sendang Tirto Kamandanu, di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Sebuah kawasan yang dikeramatkan. Konon sebelum moksa (menghilang), Raja Kediri Sri Aji Joyoboyo mandi di Sendang Tirto Kamandanu.
Atmosfer lingkungan menempa Imron untuk mencintai budaya Jawa. Terlebih, dia juga punya darah seniman dan spiritualis Jawa. Ki Suratin, ayahnya adalah juru kunci di Sendang Tirto Kamandanu. Selain menjadi dalang, ayahnya juga pembuat wayang kulit. “Sejak kecil, saya belajar natah wayang dari ayah,” kata anak ketiga Suratin ini.
Menginjak dewasa, dia sudah punya ciri khas. Melukis wayang di atas kulit kambing. Dia mulai terinspirasi lukisan di atas kaca sejak delapan tahun silam. Ketika itu, dia melihat lukisan kaca lama yang sudah pecah di rumah eyangnya yang dikenal dengan sebutan Mbah Carik. Dia sangat terkesan dengan lukisan kaca Arjuna dan Punakawan itu.
Dia melihat kelebihan penggunaan kaca sebagai media lukisan. Guratan cat di atas kulit mudah pudar dimakan usia, bahkan bisa luntur terkena air. Maka, dia mulai mengumpulkan uang untuk membeli kaca. Kemudian melukis wayang di atas kaca. Dia menggunakan cat besi, sehingga warna lebih awet.
Lukisan kaca pertama yang dijualnya adalah ‘Puntodewo dan Arjuna’, seharga Rp 75 ribu. Imron diuntungkan karena dia sudah punya nama sebagai pelukis wayang di atas media kulit kambing. Maka, permintaan membludak.
Dalam satu bulan, dia bisa membuat 15 lukisan berukuran sedang per bulan. Ukurannya berkisar 70 cm x 40 cm. “Saya jual 125 ribuan,” paparnya.
Namun, untuk satu lukisan berukuran besar, dia bisa dalam tempo dua bulan. Contohnya; lukisan Arjuna Wiwoho dan Panji Asmoro Bangun. “Kalau harga tergantung kerumitan dan lama produksi,” katanya.
Urutan kerjanya: jika memperoleh ide, Imron menggambar di atas kertas yang hendak dijadikan mal. Setelah itu, dia langsung melukis dengan acuan dari mal ini. Keunikan sekaligus kerumitannya, melukis kaca ini terbalik. Bagian yang ditonjolkan justru bagian balik yang dilukis.
“Lukisan kaca ini memiliki makna. Kaca ‘kan tembus. Rasa saya, gambar saya tembus di situ,” paparnya sembari tersenyum, berteka-teki.
Karya Imron ini bahkan sudah sampai ke tangan tangan Joko Widodo dan Prabowo, namun melalui tangan orang lain yang memberikan cinderamata sebelum hiruk pikuk Pilpres. Lukisan kaca di tangan dua orang yang bertarung dalam Pilpres ini bertajuk sama; Jagat Gumelar.
Lukisannya bahkan juga dipesan untuk menjadi cinderamata di Museum Tejowulan, Solo. Bahkan, dia sempat jadi langganan seorang ahli spiritual asal Malang. Ahli spiritual sekali pesan bisa 20 – 30 lukisan kaca. Imron juga kerap kali mengikuti pameran yang digelar di berbagai kota di Jawa Timur. Namanya dikenal. Permintaan meningkat. Fisiknya diforsir. Imron sempat vakum dan jatuh sakit.
SETAHUN BELAKANGAN ini Imron absen melukis. Dia menderita gejala ginjal. Entah mengapa, belakangan dia mudah sakit. “Saya pake ini, soalnya gampang masuk angin,” katanya, seraya menunjuk kaos kaki hitam yang dikenakannya menjejak lantai.
Begitu kondisi fit, Imron berusaha berkarya lagi. Dia menyileti lagi kuas-kuas itu dan mencoba melukis lagi. Beberapa bahan lukisan kaca masih ada. Sebagaimana seniman, kegiatan Imron juga bergantung mood.
Melukis juga telah menjadi gantungan hidupnya. Imron tak punya pemasukan selain berjualan lukisan kaca. Tuntutan kebutuhan hidup ini yang menjadi motivasinya untuk berkarya lagi. Toh, pangsa pasar sudah terpapar.
Kendati demikian, Imron masih memiliki sebuah obsesi. Dia ingin memiliki galeri yang apik. Galeri lukisan wayang media kaca ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung Sendang Tirto Kamandanu.
Bukan sekadar berkarya untuk nafkah belaka. Dia juga ingin karyanya bermanfaat dan menghibur. Juga melestarikan budaya yang mulai tergerus oleh modernisasi.
“Sekarang, siapa generasi muda yang mau menonjolkan budaya sangat sedikit. Padahal, kalau bicara tentang wayang tak ada bosannya. Karena wayang itu bukan sekadar tontonan, tapi juga tuntunan,” paparnya berfilosofi. (Danu Sukendro)
Discussion about this post