Aku akan pulang. Pulang ke rumah. Pulang kepada bangsaku. Pulang kepada kaumku. Kita memang serumah, tapi kita asing satu sama lain.
DISKRIMINASI pada masyarakat Papua lantang disuarakan Esther Haluk lewat puisinya berjudul Aku Pulang. Tulisan tersebut adalah satu dari 92 puisi yang dikompilasi dalam buku “Nyanyian Sunyi”. Seluruh isinya menggambarkan ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan di Papua.
Pada Desember 2024, buku setebal 92 halaman itu mengantarkan Esther meraih Dermakata Award yang digelar Denny JA Foundation. Nyanyian Sunyi diapresiasi karena setiap bait puisi mewakili kejadian-kejadian pilu yang pernah terjadi di Papua. Di antaranya, kondisi masyarakat yang sehari-hari diintai trauma dan rasa takut.
“Pena menjadi senjata saya. Puisi-puisi yang saya tulis berisi refleksi pribadi atas persoalan kemanusiaan dan peristiwa pembunuhan di Papua,” ucap Esther ketika diwawancarai Amnesty International Indonesia pada 18 April 2023.
Sarjana Sastra Inggris Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini mulai menulis puisi-puisi itu pada 2018. Melalui sastra, Esther mendapat kebebasan menyuarakan kebenaran. Kondisi di Papua disampaikan lewat puisi agar masyarakat Indonesia mengetahui situasi yang sebenarnya.
Dalam wawancara itu, Esther juga menyinggung pelajaran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) era Orde Baru. Dia kerap mewakili sekolah ketika ada perlombaan P4. Namun, ketika berkuliah, Esther tersadar bahwa Pancasila yang dia resapi semasa kecil belum tercermin pada kehidupan di Papua.
Keresahan-keresahan Esther itu dituangkan dalam puisinya berjudul Sejarah Yang Gelap, Cantik Itu Luka, Pelacur Terhormat, dan puluhan puisi lainnya. Awalnya dia tak percaya diri dengan karyanya. Berkat dorongan Aprila Wayar novelis perempuan pertama Papua, buku Nyanyian Sunyi itu akhirnya terbit pada 2021.
Esther Haluk hingga kini masih gigih mengadvokasi isu-isu sosial di Papua. Dia juga banyak beraktivitas sebagai seorang feminis, penulis, pekerja gereja, dan akademisi. Sehari-hari, dia mengajar dan menjabat Sekretaris Penjaminan Mutu di Kampus Sekolah Tinggi Teologia Walter Post Sentani.
Sedangkan upaya mengangkat kesetaraan gender di Papua diperjuangkan lewat West Papua Feminist Forum atau disingkat dengan WPFF, yang merupakan bagian dari Pacific Feminist Forum (PFF). Esther dipercaya menjadi koordinator pada wadah perempuan Papua dari berbagai latar belakang seperti kaum marginal dan disabilitas. Dia kerap mewakili forum tersebut menghadiri acara di tingkat nasional maupun internasional. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post