PADA Jumat, 11 Oktober 2019, Srawung Psikologi menggelar Jagongan Buku Gayeng di pendapa Sekolah Alam Ramadhani, di Kelurahan Mojoroto, Kota Kediri. Komunitas diskusi seputar psikologi dan kearifan lokal ini menghadirkan seorang penulis, Irfan Afifi, untuk membedah bukunya, “Saya, Jawa, dan Islam”.
“Selain mengulas sejarah panjang literasi budaya Islam Jawa, buku ‘Saya, Jawa, dan Islam’ juga membawa tema psikologis terkait proses pembentukan jati diri,” kata Sunarno, penggagas Srawung Psikologi, dalam sambutan membuka acara.
Buku setebal 221 halaman yang terbitan Tanda Bada itu merupakan pengantar dari hasil pergulatan diri Irfan Afifi yang dituangkan dalam tulisan. Ia banyak merekonstruksi ilmu pengetahuan lama yang dijernihkan dari sisi historis.
“Buku ini sebenarnya bentuk pergulatan menemukan jati diri yang tidak bisa dijawab dengan hal-hal pemikiran intelektual semata, yang saya dapat dari bangku kuliah,” kata Irfan Afifi.
Di hadapan puluhan peserta diskusi yang didominasi mahasiswa itu, alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada tersebut menerangkan, bahwa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial dirinya ia temukan setelah batinnya bergulat kurang lebih selama dua belas tahun.
“Saya mencoba memahami khazanah pengetahuan tradisi, bahwa secara faktual itu saya Jawa dan Islam. Setelah saya jujur atas kondisi faktual itu, kemudian saya menemukan makna atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial tadi,” katanya.

Lahir sebagai orang Jawa yang beragama Islam, pria asal Ngawi, Jawa Timur ini mencoba untuk menemukan identitas diri yang sebenarnya. Keresahan demi keresahan pun datang silih berganti menghampiri.
“Saya kan pingin makna, pingin bukti. Apakah ketaatan saya ini; satu, sudah dijalurnya? Kedua, kalau agama tidak memberikan saya makna, ya untuk apa, wong saya itu memeluk ajarannya agar saya diberi makna atas itu,” kata pendiri Ifada Initiative tersebut.
Menurut Irfan, Jawa dan Islam itu satu kesatuan yang dapat membantu kita memahami kenyataan dalam perspektif yang luas. Keduanya adalah dua identitas yang membantu seseorang menjawab permasalahan pribadi, ataupun mengatasi problematika kebangsaan.
Budayawan muda ini juga menekankan akan pentingnya memahami sejarah. Karena sejarah adalah tonggak dan titik balik yang dapat dimaknai dan diaplikasikan melalui tindakan untuk bangsa dan negara yang lebih baik.
Dalam sesi tanya jawab, Irfan mengaku buku “Saya, Jawa, dan Islam” bukanlah akhir dari perjalanan menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial pribadinya.
“Seperti, kemudian saya tahu akan ‘lelakon’ ini. Oh,saya sedang ‘berjalan’. Oh, saya sedang ‘sampai di sini’. Jadi pasti itu bermakna bagi saya. Alhamdulillahjika dari perjalanan itu, buahnya bisa diambil oleh orang lain,” katanya. (Sima, Widi)