BENTURAN kayu dari rangkaian mesin tenun menimbulkan bunyi seperti kentongan yang dipukul berulang-ulang. Ayunan tangan dan kaki para pengrajin yang bergerak simultan, terlihat maju dan mundur. Jika berkunjung ke sentra tenun ikat di Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, ketukan kayu itu akan terdengar sepanjang hari, bahkan hingga malam.
Bagi Siti Rukayah, bunyi-bunyi nyaring itu adalah wujud semangatnya dalam berkarya. Setiap hari, dia mengerjakan motif terbaru untuk mengembangkan brand tenun ikat miliknya, Medali Mas. Selama puluhan tahun menekuni bisnis ini, dia sudah menghasilkan ratusan corak.
“Setiap satu minggu saya menargetkan ada satu motif baru,” kata Siti Rukayah, Jumat 4 Desember 2020.
Inspirasi dalam melahirkan motif terbaru banyak didapat ketika sedang jalan-jalan. Saat melihat pola-pola yang estetik, imajinasi terdorong untuk mengkonversinya ke dalam motif tenun. Misalnya, bentuk bunga, dedaunan, dan berbagai tanaman lainnya.
Rancangan yang terlintas di kepala itu lalu digambar di kertas sebagai draft kasar. Namun, Rukayah biasanya langsung menggambarnya di susunan benang yang ditata seperti kanvas. Ketika proses menggambar motif selesai, pola bergaris pada motif akan diikat menggunakan tali rafia.
Proses pengikatan inilah yang menjadi cikal bakal kain tradisional ini diberi nama tenun ikat. Motif harus diikat agar ketika dicelup ke cairan pewarna, kombinasi pola warna dapat terbentuk. Warna yang digunakan adalah merah, kuning, dan hijau.
“Biasanya, tahap pengikatan dikerjakan oleh ibu-ibu rumah tangga sekitar,” ujar perempuan lima puluh lima tahun itu.
Dia menambahkan, dari untaian benang hingga menjadi tenun melalui 14 tahap. Semuanya dilakukan secara tradisional. Setiap lembar kain itu dibuat dengan ketelatenan, keahlian, serta kreativitas. Hal inilah yang menjadi keistimewaan kain tenun. Secara tekstur sangat berbeda dengan kain dari hasil cetakan pabrik.
Ketika hasil motif yang dirancang sudah menjadi kain tenun, Rukayah mendokumentasikannya dan memasukkan ke buku katalog. Di antaranya, motif tirto tirjo, ceplok, emplok-emplok, lung, gunungan, dan wajik. Jika ada yang pengunjung yang berminat, akan langsung dibuatkan. Semua proses dari nol hingga jadi, membutuhkan waktu sekitar 4-5 hari.
Sayangnya, tidak semua motif yang dihasilkan masuk ke katalog. Kesibukan mengawasai sirkulasi keuangan dan produksi membuat proses dokumentasi kadang terlewatkan. Bahkan, sebelum difoto, kain sudah terjual.
Akan tetapi, jika pelanggan sudah memiliki rancangan motif akan dikerjakan sesuai keinginan. Pemesan yang membawa corak sendiri kebanyakan datang dari kalangan birokrasi. Di antaranya dari pegawai dinas, kelurahan, serta lembaga pendidikan. Bukan hanya dari Kota Kediri saja, tapi juga daerah lain di Jawa Timur.
Rukayah menerangkan, kecenderungan para peminat tenun ikat selalu menginginkan motif yang belum pernah dibuat. Alasannya, mereka tak ingin corak yang dipakai sama dengan milik orang lain. Unsur eksklusifitas inilah yang melatarbelakangi beragamnya motif yang telah dikerjakan di Medali Mas.
“Pemasaran tenun ikat kini sudah merata di seluruh wilayah di Indonesia,” kata wanita yang pernah bekerja di Arab Saudi sebagai TKI itu.
Menurut Rukayah, kunci mempertahankan bisnis ini terletak pada inovasi. Selain motif yang terus diperbarui, juga ada upaya memodifikasi. Lembar kain tenun dapat dijadikan sepatu, tas, dompet, dan masker.
Dorongan agar terus berinovasi itu muncul pada tahun 2005. Jika dulu hanya berupa sarung goyor, Rukayah dan pebisnis tenun lainnya mengembangkan tenun ikat menjadi berbagai model. Ide itu diperoleh dari saran berbagai pecinta kain tenun, salah satunya H. Maschut, Wali Kota Kediri saat itu.
“Tenun ikat sebenarnya sudah kembali menarik pasar di masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,” ujar kenang Rukayah.
Seiring waktu, eksistensinya kemudian menanjak dan banjir pesanan baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional. Tenun ikat benar-benar mencapai puncak kepopuleran pada tahun 2015. Lewat kerjasama dengan pemerintah daerah dan Bank Indonesia, kain tenun diikutkan ke sejumlah pameran tingkat nasional.
Di rumahnya yang terletak di utara GOR Jayabaya Kota Kediri, Rukayah kini mempekerjakan 115 karyawan. Jika kesemua proses dulunya dikerjakan sendiri, kini dia memberdayakan masyarakat sekitar untuk diajak bekerja. Para pegawai itu didominasi oleh para pemuda. Rata-rata dari mereka berusia antara 20 hingga 30 tahun. Ada pula dari golongan manula, akan tetapi jumlahnya bisa dihitung jari.
Jika ada pemuda desa setelah lulus SMA tapi belum mendapat pekerjaan, Medali Mas akan menampungnya. Soal teknik, wawasan, dan cara mengerjakan tenun ikat akan didampingi hingga mahir. Keterampilan mengolah kain harus diturunkan. Sehingga, tenun ikat dapat terus bertahan meski generasi terus berganti. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post