SAYA menuliskan ini, ada beberapa alasan. Pertama, sejak usia Madjid Panjalu 3 tahun (anak saya yang kini berusia 6 tahun) bersinggungan dengan pewayangan dan pakeliran. Kedua, saya memilih wayang sebagai salah satu pengenalan bahkan penguatan literasi di usia dini.
Sebagai bapak anyaran atau baru, saya meyakini jika tahap pendidikan anak usia dini adalah lambaran bagi perkembangan anak berikutnya. Maka, dengan tidak merendahkan harkat dan martabat anak sebagai seorang manusia, praktik pengasuhan serta pendidikannya semacam trial (percobaan), sebuah pola pengasuhan dan pendidikan yang memerdekakan jiwa anak.
Di tahap usia dini semua aspek perkembangan mulai dari motorik, kognitif, afeksi, dan sosial, mulai dioptimalisasi. Empat hal tersebut akan berkembang baik dengan pendekatan kemerdekaan jiwa anak. Kemerdekaan bukan membebaskan tanpa aturan, tetapi ngepenakake rasa atau memberikan ruang eksplorasi seluas-luasnya bagi perkembangan semua aspeknya.
Nah, semua aspek perkembangan usia dini itu dapat dikuatkan dengan dunia literasi. Bagi saya, praktek pendidikan literasi adalah melatih kemampuan mambaca kahanan atau keadaan. Kahanan bisa berada di dalam diri, maupun di luar diri. Kemampuan membaca kahanan bisa dilihat dari penyerapan pengetahuan-pengetahuan di sekitar, sehingga dapat dijadikan modal menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.
Dengan demikian, literasi bukan hanya menyoal baca-tulis-hitung (calistung) saja. Namun, hal yang lebih substantif yaitu kecakapan membaca kahanan. Kesanalah seharusnya gerakan literasi menuju, bukan hanya pada kebiasaan membaca, menulis, dan berhitung yang diajarkan di usia dini. Apapun yang ada di sekitar anak dapat dijadikan sebagai sarana pengenalan dan penumbuhan literasi, alam kang gumelar sebagai guru.
Sarana yang digunakan bukan dibatasi duduk di bangku menghadap meja dan mengeja deretan huruf. Tetapi anak dapat melihat, mendengar, mengalami, dan merasakan langsung kahanan di sekitar. Dengan begitu, anak akan belajar mengeja deretan huruf kahanan kehidupan. Melalui pendekatan seperti ini, anak benar-benar akan terbuka untuk belajar dari apa saja dan mendapatkan limpahan berkah pengetahuan.
Apa kabar budaya kelisanan?
Bagi pegiat literasi, perdebatan tentang budaya lisan dan tulis sudah menjadi lumrah bagi mereka. Semua bahasan itu mengarah ke perdebatan mana yang lebih unggul antara budaya kelisanan dan tulisan?
Dan banyak (ini juga lumrah) yang menganggap bahwa budaya tulis adalah simbol kemajuan, lebih unggul daripada budaya lisan. Saya tidak akan membahas pergulatan panjang kedua budaya tersebut. Sebab, masing-masing budaya tersebut mampu membangun kesadaran manusia.
Kelisanan, sejauh yang saya praktikkan ke anak yaitu bercerita, membacakan dongeng, nonton wayang, maupun mengkomunikasikan apa-apa yang sedang di depan mata atau “saiki-ning kene”. Misalnya, pada saat dalam perjalanan melihat Polisi Wanita (Polwan). Selanjutnya akan muncul pertanyaan dari anak “Mengapa perempuan juga bisa menjadi polisi?”. Dalam situasi tersebut, gagasan-gagasan seputar pertanyaan dapat dikomunikasikan.
Sebab, kekuatan budaya kelisanan ada pada penyampaian gagasan. Selain itu, metode tersebut dapat memperkaya perbendaharaan kosa kata. Sebagai contoh fenomena melihat capung, orang tua selain bisa mengkomunikasikan pengetahuan seputar percapungan juga bisa menambah kekayaan penyebutan yaitu “titik iyek” untuk di Kediri, dan “kinjeng” untuk penyebutan di Ngawi. Penyebutan capung tidak mengenal pembakuan kata. Satu-satunya yang mengesahkan kata secara semantik adalah situasi nyata yang sedang dihadapi.
Bagi anak usia dini, saya memilih budaya kelisanan sebagai upaya pengenalan dan penguatan literasi. Terlepas dari kebudayaan masyarakat kita yang berkebudayaan lisan telah mampu membentuk identitas orang-orang yang ada di dalamnya. Saya berpedoman kepada pengalaman sederhana disaat anak lahir, yaitu kepada perkembangan indra bayi.
Ketika bayi lahir ke dunia, indra yang berfungsi dengan baik adalah pendengaran. Itulah mengapa, pada saat bayi lahir bagi penganut agama Islam ada tuntunan untuk memperdengarkan adzan ke telinga anak. Indra penglihatan pada bayi akan mulai berfungsi di usia 2-3 bulan. Berfungsinya indra tersebut adalah gambaran bahwa tumbuh kembang otak anak terdapat perkembangan unsur kognisi dan emosi, seiring rangsangan yang didapatkan oleh panca indra.
Mengajak anak berbicara atau komunikasi merupakan manifestasi budaya kelisanan. Hal ini selanjutnya akan memperkuat perkembangan otak anak. Baik dari segi bahasa, imajinasi, berfikir, dan emosi. Kelisanan, menurut saya adalah tepat untuk pengenalan literasi sejak usia dini.
Wayang dan penumbuhan literasi sejak dini
Wayang, secara kasat mata adalah boneka. Maka, tidak jarang orang mengatakan bahwa cerita wayang selayaknya cerita-cerita boneka lainnya. Pendapat dan anggapan tersebut tidak salah ketika wayang dilihat dari kasat mata. Tetapi, bagaimana jika wayang dilihat lewat kaca mata kebudayaan?
Keberadaan wayang, sejauh saya membaca beberapa literatur menemukan bahwa usia wayang sudah lebih dari 1100 tahun atau sebelas abad yang lalu. Dalam buku Kelir Tanpa Batas tulisan Umar Kayam (2001), dijelaskan bahwa keberadaan wayang kulit di Jawa sudah sejak sekitar abad X SM.
Dengan berbagai perkembangan dan perubahannya, wayang telah menemani peradaban Jawa dalam jangka waktu yang tak sebentar. Maka, tidak mengherankan apabila wayang melalui isi cerita yang bermuatan nilai-nilai hidup, memiliki kekuatan estetik religius dan hiburan. Bahkan, dijadikan pedoman dan panduan hidup bagi masyarakat Jawa.
Wayang sebagai manifestasi kebudayaan “adiluhung” memiliki kekuatan artistik bersifat kelembutan dan keindahan (estetika). Ia mampu menembus ruang kejiwaan penonton sehingga terjadi transformasi perilaku (etika). Semakin mandalami dan menelusuri wayang, saya semakin manthuk-manthuk (mengangguk) mengapa Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO menetapkan wayang sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada tanggal 7 November 2003 yang kini tanggal penetapan tersebut dijadikan sebagai Hari Wayang Nasional.
Masterpiece of Oral, karya lisan dan Intangible Heritage of Humanity, warisan nonbendawi. Dari kedua hal tersebut kita menjadi mengerti kekuatan wayang, yaitu ada di lisan dan kemanusiaan. Keberadaan wayang adalah bukti terujinya kebudayaan lisan yang memiliki kedalaman—tutur kang tinular atau transformasi nilai-nilai kemanusiaan melalui budaya lisan.
Bagi saya, membaca masa depan peradaban manusia tidak boleh luput dari dua masa yaitu masa lalu dan masa kini. Adanya warisan peradaban masa lalu bisa dijadikan sebagai titik tolak. Kita yang hidup di masa sekarang seharusnya memberikan penghargaan terhadap warisan adiluhung yang dimiliki—bukan malah merobohkannya. Warisan-warisan budaya lokal sebagai titik tolak kemajuan masa depan sekaligus mengambil kemajuan kebudayaan dari luar. Ini sesuai dengan khasanah pesantren dalam hal bagaimana sikap terhadap kemajuan, yaitu “al-muhafadhotu ‘ala qodimis-sholih wa-l-akhdzu bi-l-jadidi-l-ashlahi”, memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Wayang sebagai karya lisan (masterpiece of oral) memiliki berbagai kekuatan. Sementara, anak usia dini membutuhkan pengenalan dan penumbuhan literasi. Hal inilah yang menjadi landasan saya menggunakan wayang sebagai sarana mengenalkan dan menumbuhkan literasi pada usia dini. Menumbuhkan serta mengembangkan literasi kepada penerus generasi merupakan tanggung jawab bersama. Dan menyebarkan #VirusWayang kepada anak-anak usia dini menjadi pilihan alternatif bagi pendidikan literasi mereka. (Sunarno, Dosen Psikologi Islam IAIN Kediri)
Discussion about this post