PADA Kamis, 14 Januari 2021, Watchdoc Documentary Maker, meraih penghargaan Special Prize of The 2021 Gwangju Prize for Human Rights (SPGPHR). Karya-karya rumah produksi film dokumenter yang didirikan oleh dua jurnalis, Andhy Panca Kurniawan dan Dandhy Dwi Laksono ini, dinilai mampu menginspirasi publik internasional. Terutama atas kontribusi penegakan dan penghormatan terhadap berbagai isu hak asasi manusia (HAM) di Indoneisa.
“Sebagai sebuah institusi, penghargaan ini menegaskan akan kebermanfaatan Watchdoc Documentary Maker untuk publik luas,” kata Andhy Panca Kurniawan. Ia melanjutkan, pencapaian tersebut didapat tak lepas dari kerja-kerja kolaboratif dengan banyak komunitas serta dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
Selama 12 tahun berdiri, Watchdoc Documentary Maker telah memproduksi lebih dari 400 film dokumenter dan sedikitnya 1.000 serial video bertema HAM, demokrasi, supremasi hukum, lingkungan, perempuan, kelompok minoritas, dan sejarah. Mayoritas karya tersebut oleh sejumlah organisasi hak asasi manusia dan sekolah telah dipergunakan untuk kampanye serta pendidikan.
Nama Watchdoc tambah menonjol setelah melancarkan Ekespedisi Indonesia Biru sepanjang tahun 2015. Aksi keliling Indonesia di atas motor bebek ini dilakukan oleh Dandhy Dwi Laksono bersama Suparta Arz. Dengan landasan konsep ekonomi biru, ekspedisi itu membawa misi merekam beragam kejadian di Indonesia. Khususnya bagaimana masyarakat hidup berdampingan dengan ekosistem alam sekitarnya.
Perjalanan tersebut berhasil melahirkan 12 film panjang serta 55 serial yang seluruhnya bisa diakses secara bebas oleh publik. Beberapa di antaranya telah memenangi sejumlah festival film internasional. Seperti CinemAsia Film Festival di Amsterdam dan Anti-Korupsi Internasional Asia Timur.
Kini apresiasi masyarakat makin kencang, seiring langkah Watchdoc Documentary Maker kian lantang menyuarakan isu hak asasi dan masyarakat terpinggirkan. Hal itulah yang melandasi The May 18 Memorial Foundation, sebuah organisasi yang bergerak di bidang penegakan HAM dan demokrasi berbasis di Korea Selatan, menganugerahi SPGPHR 2021. Penghargaan tersebut merupakan pendamping dari Gwangju Prize for Human Rights (GPHR), yang tahun ini dimenangkan oleh Anon Nampha, seorang aktivis dan advokat HAM asal Thailand.
Prestasi serupa pernah diberikan kepada Xanana Gusmao pada tahun 2000. Lalu Aung San Suu Kyi, meski dibatalkan setelah tragedi Rohingya. Sejumlah aktivis Indonesia juga menerima penghargaan internasional ini. Antara lain, Wardah Hafidz yang mendampingi warga miskin kota, Latifah Anum yang mendampingi warga Papua, serta Bedjo Untung yang memperjuangkan keadilan bagi korban tragedi 1965. Sejak 2011, The May 18 Memorial Foundation mulai memberikan penghargaan kepada seniman dan media. Sebagaimana pernah diterima grup paduan suara perempuan penyintas peristiwa 1965 “Dialita”, dan Majalah Tempo.
Dalam satu kesempatan wawancara dengan Kediripedia.com, Dandhy Dwi Laksono, mengatakan bahwa pencapaian yang diterima sejauh ini tak menghentikan Watchdoc Documentary Maker untuk terus memproduksi film. Kini Watchdoc Documentary Maker juga berupaya membangun ruang edukasi. Di antaranya, program “Kamera ke Depan”, sebuah lokakarya membuat dokumentasi menggunakan kamera telepon genggam.
Hal itu penting diagendakan karena semua orang punya kesempatan yang sama untuk menyuarakan apa yang ingin disampaikan. Apalagi mayoritas masyarakat telah terbantu teknologi internet. Sehingga informasi dari pelosok bisa diakses di semua tempat di seluruh dunia.
“Saya ingin teman-teman bisa menjadi mata kamera bagi lingkungan masing-masing, maka tidak perlu menunggu orang lain datang untuk merekam dan menyuarakan, karena kita bisa melakukannya sendiri,” kata Dandhy. (Naim Ali)
Discussion about this post