Dua kali datang ke kantor Kediripedia.com dengan naik sepeda dari Jakarta ke Kediri, Purwanto Setiadi mengajak diskusi tentang musik. Sebagai pengamat dan penulis musik, dia bersahabat karib dengan banyak pengamat dan musisi di Indonesia. Puncak karirnya sebagai Kepala Kompartemen Internasional di TEMPO, tak memupus semangatnya untuk terus menulis musik. Hingga kini, dia terus menulis apa saja tentang musik, ini salah satunya. Mari kita baca.
TAMPAKNYA Deep Purple sadar telah menempuh perjalanan luar biasa panjang serta berliku dan karena itu sengaja memilih NOW WHAT?! sebagai judul album ini. Meski sebenarnya, judul itu juga pas digunakan sebagai penghormatan ketimbang indikasi tentang masa depan yang seketika tak pasti setelah Jon Lord, pemain keyboard yang telah bersama mereka sejak awal, tutup usia pada Juli 2012.
Lebih dari sekadar ikut mendirikan band pada 1968 di Hetford, Inggris, Lord merupakan salah satu arsitek yang ikut membangun karakter musik Deep Purple, lewat permainan organ hammond-nya. Berkat itu, antara lain, Deep Purple ditabalkan sebagai satu dari The Holy Trinity of Heavy Metal.
Meski telah memilih pensiun dari Deep Purple sejak 2002, pengaruh Lord, ikatan jiwa dengannya, tetap sulit dinafikan. Dalam hal album ini, misalnya, “Kau bisa merasakan spiritnya di studio dan kupikir kau bisa mendengarnya di dalam album,” kata Roger Glover, sang pemain bass, seperti dikutip majalah Classic Rock (Juni 2013).
Maka, wajar jika kemudian, sebagaimana diterakan dalam bukletnya, mereka memang mendedikasikan album yang dirilis pada 26 April 2013 ini untuk Lord. “Souls, having touched, are forever entwined,” demikian mereka menulis, dan kemudian menyanyikannya sebagai larik dalam Above and Beyond. Mereka menggarap persembahan itu dengan energi berlipat-lipat.
Mendengarkan album ini sepenuhnya kita bisa membayangkan seberapa keras Roger Glover, Ian Gillan (vokal), Ian Paice (drum), Steve Morse (gitar), dan Don Airey (keyboard)–formasi terkini–berikhtiar; juga melihat sinyal bagaimana mereka mencurahkan segenap daya kreasi dan musikalitas yang ada sejak dari menggubah lagu, mengaransemen, hingga merekamnya. Setiap not, setiap kata, dan setiap detak tempo memancarkan vibrasi tentang para sahabat yang merayakan kegembiraan dan masa-masa indah bersama, semuanya seperti lepas dari aturan-aturan yang membelenggu.
Lagu pertama, A Simple Song, memulai semua langkah memerdekakan diri itu. Berbeda dari pembuka album-album Deep Purple sebelumnya yang selalu langsung menderu (misalnya Speed King, Highway Star, Burn, Vavoom: Ted The Mechanic, atau Any Fule Kno That), lagu berdurasi 4.39 menit ini diawali dengan motif petikan bas dan gitar dalam tempo orang berjalan santai dan suasana hati melankolis, dengan latar belakang sapuan lembut cymbal oleh Paice yang menimbulkan kesan bunyi lonceng. Vokal gillan lalu masuk, melantunkan “Time, it does not matter/ but time is all we have….” baru kemudian tempo berubah cepat, seakan membawa kita menumpangi kereta roller coaster yang tengah melaju.
Di menit-menit awal itu sudah sangat terasa betapa bebunyian yang kita dengar bagai keluar di satu ruang besar dan luas minim perabotan. Bukan saja kesan modern sangat menonjol, melainkan juga betapa dinamisnya presentasi mereka–tapi tanpa menghapus sama sekali jejak Deep Purple dari masa lalu. Peran Bob Ezrin, produser yang sudah berpengalaman antara lain dengan Alice Cooper, Kiss, dan Pink Floyd sulit diabaikan di sisi produksi ini.

Dengan umpan serupa itu sulit mengabaikan lagu berikut, dan berikut, dan berikutnya lagi sampai lagu kesebelas (atau kedua belas untuk versi dengan bonus track) berakhir. Pada lagu kedua dan ketiga, Weirdistan dan Out of Hand, mereka membawa semua yang ada di lagu pembuka ke tataran yang lebih tinggi. Ini menjadi etalase bagi apa yang akan mereka sajikan selanjutnya. Ada elemen progresif di sini. Gitar Morse dan keyboard Airey seperti beratraksi “terjun bebas”. Kadang mereka bersahut-sahutan, atau berbarengan membunyikan not yang sama (unison), ada kalanya mereka menempuh alur solo yang menggairahkan. Tapi dengan takaran yang pas.
Dengan takaran itu pula Airey menerakan karakter permainannya: suatu kali dia membubuhkan ciri khas Lord, tapi pada kali lain dia sepenuhnya menjadi dirinya sendiri, seorang pemain keyboard dengan jejak bermusik yang panjang dan berwarna-warni.
Simak, misalnya, Blood from A Stone–lagu tentang seseorang yang menimbang-nimbang hendak melakukan kejahatan agar bisa bertahan hidup. Benar jika ada yang mengatakan di sini Airey mengingatkan kita pada Ray Manzarek dari The Doors ketika, dengan organnya, dia memainkan melodi jazzy dalam Riders on The Storm. Atau, perhatikan juga gaya Emerson, Lake and Palmer dalam Uncommon Man: di lagu yang mereka akui mengambil ilham dari komposisi klasik Fanfare for The Common Man ini kita bisa mendengar perayaan bebunyian terompet dan organ setelah intro kontemplatif yang menghanyutkan dari Morse.
Di semua performans berkelas pada sisi instrumen itu Gillan, di usia 67 (ketika album ini direkam), memang sulit menjadi Gillan di masa jayanya pada 1970-an. Jangkauan dan tenaga vokalnya telah menurun. Tapi, dengan caranya, dia toh sanggup tampil mengimbangi, dengan mentransformasikan vokalnya sebagai wahana untuk menyampaikan tema, tentang perenungan, humor, rasa puas diri, penyesalan. Dalam All The Time in The World, misalnya, dia menyanyikan: And so i watch the world/ go racing by, tearing up the street/ i lay back in the long grass/ take it easy and rest my feet/ don’t worry/ you know, there’s no hurry/ here we are/ with all the time in the world.
Dengan semua itu, melalui album ini, Deep Purple menunjukkan betapa mereka tahu benar apa yang mereka masih sanggup lakukan. Mereka mewujudkannya dengan cara-cara yang sudah mereka kenal sejak lama, tak pernah kurang tapi selalu ada lebihnya. (Purwanto Setiadi)