Tinggal berdampingan dengan gunung sampah di TPA Klotok, Kota Kediri, tak sedikit warga yang mengalami depresi berkepanjangan.
SORE itu, angin sepoi-sepoi berhembus di pemukiman warga RW 03 Lingkungan Jarakan, Kelurahan Pojok, Kota Kediri. Di kawasan yang berjarak 200 meter dari Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Klotok ini, bau busuk dari gunungan sampah tak terlalu menguar. Sisa bau air lindi dan gas metana hanya sesekali menusuk hidung.
“Bau sampah biasanya tajam kalau setelah hujan,” kata Agung Prasetyo, Ketua RT 12 Lingkungan Jarakan, Kamis, 18 Januari 2024.
Sejak TPA Klotok beroperasi pada tahun 1992, ratusan warga sudah terbiasa hidup berdampingan dengan aroma sampah. Hampir di seluruh rumah terpasang filter udara berbahan kain kasa di lubang-lubang ventilasi. Upaya menangkal bau busuk juga dilakukan dengan menggantung pengharum ruangan di pintu ruang tamu, dapur, dan kamar tidur.
Di antara deretan hunian di Jarakan, pemandangan berbeda tampak di rumah Wahyudi yang sore itu terlihat porak poranda. Dinding ruang tamu berlubang. Genteng-genteng berjatuhan, serta kaca jendela pecah.
Tiga hari belakangan, pria pengidap gangguan mental itu kalap menghancurkan rumahnya sendiri. Agung dan tetangga lainnya tak sanggup menghentikan Wahyudi. Saat ada orang yang menginjakkan kaki di halaman rumahnya, dia makin kesetanan. Matanya melotot, sambil memaki-maki warga. Tangannya yang dipenuhi bercak putih karena infeksi jamur itu juga mengepal. Tak ada yang berani berani mendekat melihat pria 32 tahun itu seperti siap melayangkan pukulan.
“Sebulan sekali biasanya kumat, tapi tak pernah separah ini,” kata Agung.
Melihat Wahyudi kian tak terkendali, Agung menghubungi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Kediri. Menjelang maghrib, 12 petugas Satpol PP dikerahkan membawa Wahyudi ke penampungan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Dinas Sosial (Dinsos) Kota Kediri. Selanjutnya, dia dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang. Ini sudah kedua kalinya Wahyudi dirujuk ke RSJ.
Wahyudi mengidap gangguan mental sejak remaja. Tak sendirian, saudara sekandungnya juga mengalami hal serupa. “Wahyudi itu anak bungsu, dia punya 3 kakak tapi semuanya juga mengidap gangguan mental,” ujar Agung.
Selama setahun terakhir, dia hidup sebatang kara. Keperluan makan, minum, dan kebutuhan dasar lainnya mengandalkan uluran tangan tetangga sekitar.
Sebelum akhirnya hidup sendirian, Wahyudi tinggal bersama kedua kakaknya yaitu Rohmad Toha dan Faozan. Sedangkan Ensiyah, kakak perempuannya ikut suami menetap di Gurah, Kabupaten Kediri. Sayangnya, beberapa tahun terakhir Ensiyah juga teridentifikasi mengalami depresi.
Menurut warga, keluarga ini dulunya hidup seperti lazimnya orang normal. Situasinya berubah dimulai ketika Rohmad Toha–kakak tertua–mengalami depresi usai orang tuanya wafat. Beberapa tahun kemudian, gangguan mental juga menerpa anggota keluarga lainnya.
“Sempat ada yang bilang kalau keluarga itu terkena gangguan jin atau guna-guna,” ujar Ahmad Nabaul, tetangga Wahyudi.
Keluarga pengidap gangguan jiwa itu sehari-hari menyambung hidup dari memulung sampah di TPA Klotok. Mereka memilah plastik, kardus, kaca, dan logam, lalu dijual ke pengepul rosok.
Menurut keterangan warga, ketiganya hidup saling melengkapi, meskipun sering salah paham. Sudah tak terhitung berapa kali mereka bersitegang hingga terjadi baku hantam. Puncaknya, ketika Rohmad Toha wafat akibat diabetes dan penyakit kulit pada 2023. Beberapa bulan berselang, Faozan pergi dari rumah dan meninggalkan Wahyudi sendirian.
“Sejak ditinggal kakaknya, kondisi Wahyudi semakin parah,” kata Vinky Saifur Rochim, salah seorang anggota Tim Reaksi Cepat (TRC) Dinas Sosial yang bertugas di Kelurahan Pojok.
Fenomena Peningkatan ODGJ di Kelurahan Pojok
Dari data TRC Kelurahan Pojok, Wahyudi dan ketiga kakaknya hanya sebagian kecil dari penderita gangguan mental di kawasan kaki Gunung Klotok itu.
Tepat di gang sebelah rumah Wahyudi terdapat ODGJ lainnya seperti Winarsih dan Sugianto. Winarsih dikenal suka mengamuk tanpa sebab. Sedangkan Sugianto kerap mencium para pria yang melintas di depan rumahnya.
Menurut Vinky, jumlah ODGJ beberapa tahun terakhir bertambah. Peningkatan terbesar terjadi usai ketika merebaknya pandemi Covid-19. Pada periode ini, cukup banyak remaja di Kelurahan Pojok yang mengalami depresi.
Hingga tahun 2022, tercatat ada 22 ODGJ yang kini hidup Kelurahan Pojok. Mulai dari usia remaja, hingga lansia.
“Dari 22 pengidap gangguan mental, jumlah paling banyak di RW 02, 03 dan 05, totalnya 17 orang,” kata Vinky.
Ketiga RW itu secara geografis menjadi lingkungan terdekat dari TPA Klotok. Pemukiman dan gunungan sampah jaraknya sekitar 200 meter yang dipisahkan sungai kecil. Sehingga, bau busuk dari air lindi dan gas metana setiap hari menusuk hidung. Aroma makin menguat jika selepas hujan.
Wilayah dengan jumlah ODGJ terbanyak di Kelurahan Pojok ini disebut dengan range satu TPA Klotok. Sedangkan kategori range dua meliputi RW 04, 06, 07, dan 08. Range tiga hanya RW 01 karena letaknya yang cukup jauh dari TPA.
Psikolog: Polusi Bau Berdampak pada Gangguan Mental!
Sejauh ini, Vinky belum mengetahui penyebab banyaknya pengidap gangguan mental di kawasan terdekat dari TPA Klotok. Sebagai warga asli Kelurahan Pojok, masyarakat menganggap kasus ODGJ disebabkan oleh fenomena spiritual, seperti sihir maupun gangguan makhluk halus.
Dari perspektif medis, aroma sampah termasuk dalam golongan polusi bau. Mengutip jurnal JAMA Psychiatry (American Medical Association), meski terkadang dianggap ketidaknyamanan kecil, polusi bau berdampak pada kesehatan. Tak cuma paru-paru, menghirup bau menyengat dalam jangka panjang bisa menyerang kondisi psikologis manusia.
JAMA Psychiatry secara spesifik menyebut polusi meningkatkan risiko gangguan mental sebesar 15 persen. Sejumlah penelitian sejenis juga menerangkan jika polusi bau dapat meningkatkan stres, tekanan psikis, risiko depresi, hingga demensia. Sebab, partikel polutan yang terhirup terus menerus akan masuk ke otak sehingga mengakibatkan peradangan saraf. Dalam studi ini juga ditemukan bahwa laki-laki lebih rentan terkena gangguan mental akibat polusi udara.
Kaitan antara polusi bau dan gangguan mental itu dibenarkan Puput Mariyati, Kepala Program Studi Psikologi Institut Ilmu Kesehatan (IIK) Bhakti Wiyata. Paparan bau tidak sedap secara terus-menerus dapat menyebabkan perubahan suasana hati, mudah tersinggung, dan meningkatkan stres.
“Jangka panjang dari situasi tidak nyaman karena bau bisa memicu halusinasi, delusi, serta gangguan mental lainnya,” kata Puput.
Psikolog Klinis ini menyebut, kualitas hidup warga seperti yang berada di sekitar TPA Klotok bisa saja menurun jika terus-menerus berada di lingkungan berbau busuk. Misalnya, akibat lingkungan tak nyaman interaksi sosial jadi berkurang, sehingga mungkin menghindari mengajak teman atau keluarga ke rumah.
Masyarakat yang tinggal dekat pembuangan sampah juga rentan mengalami kecemasan atau anxiety. Gejala awal dari tekanan psikis ini berupa insomnia atau sulit tidur nyenyak.
Gejala insomnia yang disebutkan Puput sempat dialami sejumlah warga di RW 03 Kelurahan Pojok, salah satunya Ahmad Nabaul. Pria asal Blitar ini baru 3 tahun tinggal di dekat TPA Klotok. Di tahun pertamanya, dia susah tidur akibat bau sampah. Aroma busuk masih menembus ruangan terdalam rumahnya meskipun pintu dan jendela sudah ditutup rapat serta rutin menyemprotkan pengharum ruangan.
“Sekarang sudah terbiasa, kalau dulu bukan hanya susah tidur, tapi nafsu makan juga menurun,” ujar Ahmad.
Selain bau, dia juga harus terbiasa dengan serangga seperti nyamuk dan lalat. Akibat serangga ini warga tak sedikit yang terkena gatal-gatal, termasuk Ahmad.
Kompensasi yang Tak Sepadan Resiko
Situasi tidak nyaman para warga di dekat TPA Klotok itu mendorong Pemerintah Kota Kediri mengucurkan dana kompensasi. Saat mendekati Hari Raya Idul Fitri, sebanyak 3.672 Kepala Keluarga (KK) rutin menerima sejumlah uang dan sembako. Dana ini digelontorkan sebagai uang pengganti dampak negatif beroperasinya TPA Klotok seperti serangga lalat dan bau tidak sedap.
“Jumlah dana yang diterima warga tiap range berbeda-beda, paling banyak di range satu,” kata Wahyu Artisah, Lurah Pojok.
Warga di range satu atau yang paling dekat dengan TPA per-KK mendapat kompensasi senilai 1 juta rupiah. Sedangkan range 2 mendapat 500 ribu rupiah, dan range 3 senilai 250 ribu rupiah.
Wahyu menerangkan, seluruh warga Kelurahan Pojok sudah terdaftar di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS). Masyarakat yang terkena penyakit gatal dan gangguan saluran pernafasan bisa berobat secara gratis.
Menurut Ayub Wahyu Hidayatullah, anggota Komisi C DPRD Kota Kediri, dampak kesehatan akibat TPA Klotok tidak bisa lagi dianggap sepele. Sisa air lindi sudah merangsek ke sumur-sumur warga. Demikian pula bau busuk yang setiap hari terpaksa mereka hirup. Efek jangka panjangnya yaitu timbul berbagai penyakit seperti kulit, infeksi saluran pernafasan, kanker, bahkan mempengaruhi kecerdasan anak.
“Kompensasi itu seperti candu, membuat masyarakat lupa pokok masalah yang sedang terjadi,” kata Ayub.
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjelaskan, pemerintah daerah harus segera menentukan sikap. Misalnya, sistem sanitary landfill (menumpuk sampah di lokasi cekung) diganti dengan pemrosesan Zero Waste. Pemerintah daerah juga harus menggandeng Perguruan Tinggi untuk meneliti masalah kesehatan yang kini dialami masyarakat. Hasil penelitian ilmiah itu kemudian bisa dijadikan dasar merumuskan solusi dampak kesehatan akibat beroperasinya TPA Klotok.
Dia menambahkan, kompensasi yang dibayarkan tiap tahun itu tidak sepadan dengan risiko yang kini ditanggung warga. Tersedianya jaminan kesehatan juga tak lantas menjamin keselamatan masyarakat.
Setiap hari, mereka harus hidup menghirup bau busuk. Jika ada kesempatan lebih baik, warga memilih tinggal di kawasan lain yang bebas polusi sampah.
“Kalau disuruh memilih kita sebenarnya ingin tinggal menjauh dari sampah, tapi memang belum bisa,” kata Agung Prasetyo.
Agung dan masyarakat belum punya keberdayaan membeli rumah di kawasan yang jauh dari TPA. Mereka memilih bertahan, dengan segala risiko penyakit seperti asma, kulit, paru-paru, hingga gangguan kejiwaan. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post