TIDAK banyak orang di Kediri yang menekuni usaha jual-beli kelinci pedaging. Selain hanya berlangsung musiman, mayoritas peternak atau breeder menganggap pangsa pasar daging kelinci belum sepopuler hewan-hewan lain, seperti ayam, bebek atau kambing. Namun, hal itu malah dibaca berbeda oleh Heri Dwi Irawan. Stigma yang ada justru dibalikkan menjadi peluang bisnis yang menjanjikan.
Menurut warga Dusun Tanon Selatan, Desa Tanon, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri ini, menggairahkan pasar kelinci pedaging merupakan sebuah tantangan. Selama ini, kelinci pedaging hanya dijual kiloan, dengan harga per kilonya di kisaran puluhan ribu Rupiah. Berbeda dengan tiap bibit atau induk kelinci pedaging yang memiliki nilai tawar tinggi hingga jutaan Rupiah.
“Maraknya rumah makan atau restoran pengolah daging kelinci di Indonesia, ialah satu dari sekian indikasi jika usaha ini dapat menguntungkan,” kata Heri, Sabtu, 15 September 2018, di rumahnya.
Sebelum meniti pasar, langkah awal yang dia tempuh yaitu belajar merawat sekaligus mengelola induk serta bibit mamalia berkelompok leporidae ini. Sebab, menjadi seorang Breeder, harus pandai memilah kelinci mana yang bisa dijadikan induk berkualitas. Kini, jumlah total kelinci yang dia pelihara sebanyak lima ratus ekor. Angka tersebut terbagi menjadi dua jenis kelinci pedaging, yaitu New Zealand dan Rex.
Insting pebisnis yang selalu tampil sederhana dan supel ini terbukti tidak meleset. Ketika sudah menemukan konsumen yang tepat, dia berhasil menjual daging setiap bulan secara rutin. Ada dua jenis daging kelinci yang dijual. Antara lain, fillet; daging murni tanpa tulang dan karkas; kelinci yang sudah dikuliti, tapi masih terdapat tulang.
Menariknya, nilai jual kelinci pedaging belum pernah turun sejak pertama kali dia memulai usaha, tepatnya lima tahun lalu. Bahkan cenderung terus melambung; dari kisaran awal Rp25.000,00 per kilogram kelinci hidup, kini bertambah menjadi Rp35.000,00 per kilogram.
“Agar siklus pasokan ke konsumen tetap terjaga, jumlah bibit dan daging yang dijual secara berkala harus seimbang,” imbuh lelaki yang pernah bekerja di pengiriman furnitur di Bali ini.
Untuk menjaga komoditas pasokan daging dan mengembangkan bisnis, pria kelahiran tahun 1989 ini membentuk kelompok sesama breeder kelinci pedaging. Mereka tergabung dalam perkumpulan bernama Rabbit Breeder Community (RABBCO). Komunitas yang ditetapkan berisi tak lebih dari sepuluh peternak ini, mendorong tiap anggotanya untuk giat melakukan pembinaan juga pendampingan kepada para pengusaha yang lain.
Lahirnya RABBCO dimaksudkan juga sebagai penampung sekaligus penyalur daging ke sejumlah konsumen. Sedikitnya lima ratus kilogram daging dari RABBCO, tiap bulan disalurkan secara rutin ke sebuah restoran di daerah Bali. Bila mengacu pada permintaan pasar saat ini, kuantitas tersebut masih tergolong sedikit.
“Semestinya RABBCO harus memasok satu ton daging tiap bulan. Itu pun hanya di wilayah Bali saja,” kata Heri. Dia mengaku, belum mampu memenuhi pemesan dari wilayah lain yang terus berdatangan. Di antaranya, Kalimantan dan Batam.
Guna menambah jumlah pasokan daging, Heri berupaya melebarkan sayap jaringan. Sesekali dia luangkan waktu bertandang ke kota-kota di Jawa Timur dan sekitarnya, untuk sosialisasi juga pembinaan budidaya kelinci. Misalnya, Pasuruan, Probolinggo hingga Banyuwangi.
Suami dari Arisa Aprilia Santi ini, menargetkan pada tahun berikutnya bisa menyalurkan daging kelinci sebesar satu sampai dua ton tiap bulan. Bagi Heri, harapan itu bukan hal yang mustahil dicapai.
“Kalau bermimpi sekalian yang tinggi. Mumpung gratis,” katanya. (Naim Ali)