HIDUP dan menetap di jalur lingkar cincin api pasifik menuntut kewaspadaan serba ekstra. Termasuk bagi warga di kawasan Kediri, Jawa Timur yang tinggal berdekatan dengan Gunung Kelud. Terakhir mengalami erupsi pada tahun 2014, gejolak gunung berapi aktif itu tak bisa diterka. Gempa bumi dan letusan vulkanik dapat terjadi sewaktu-waktu.
Hal tersebut disadari pula oleh guru-guru di Sekolah Alam Ramadhani, Mojoroto, Kota Kediri. Para murid diajak melakukan mitigasi bencana. Berkolaborasi dengan Teater Badala Jombang, mereka mengadakan simulasi ketika gempa bumi datang. Upaya itu perlu digerakkan, mengingat baru-baru ini, gempa dan tsunami menimpa kawasan Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah.
“Di Indonesia, musibah gempa banyak memakan korban, salah satunya karena masyarakat tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi gempa,” kata Afina Yanur atau yang akrab disapa Pinut, penggagas Teater Badala Jombang, Kamis, 4 Oktober 2018.
Menurut Pinut, kegiatan semacam ini sangat diperlukan. Berkaca pada sekolah-sekolah di Jepang yang mewajibkan muridnya melangsungkan simulasi di setiap tahunnya. Di negeri matahari terbit, simulasi diadakan karena mereka mengetahui dengan sadar bahwa kawasannya memang rawan gempa.
Simulasi gempa di Sekolah Alam Ramadhani diawali dengan memberikan briefing yang dipandu oleh Pinut. Para guru diberi wawasan seputar konsep simulasi gempa yang dikombinasi dengan aksi teaterikal. Untuk itu, anak-anak sengaja tidak diberi tahu, agar simulasi berjalan senatural mungkin.
Tepat pukul 10.00 WIB, ketika anak-anak sedang belajar di dalam kelas, salah satu guru berlari dari kelas ke kelas memukul kentongan dan berteriak gempa. Guru pendamping yang berada di kelas seketika mengarahkan kepada seluruh anak untuk berlindung, mulai dari ajakan melindungi kepala dengan bersembunyi di bawah meja, menghindari jendela, dan keluar ke tempat yang terbuka. Menyunggi tas, anak-anak berhamburan keluar kelas.
Beberapa guru bersandiwara mengalami luka-luka dengan mengaplikasikan susu bercampur jingga merah yang dilumurkan ke beberapa bagian tubuh. Melihat hal itu, anak-anak nampak cemas, ketika mendapati beberapa teman dan gurunya mengalami luka-luka. Di antaranya ada yang menangis, melihat dengan wajah yang iba, berlari karena takut, bahkan ada yang panik untuk mengambilkan segelas air putih.
Melalui kejadian itu, salah satu guru menjelaskan bahwa apa yang menimpa teman dan gurunya adalah karena mereka tidak berlindung. Anak-anak mendengarkan dengan seksama sambil sesekali bersahut-sahutan menanggapi penjelasan tentang simulasi gempa.
“Kegiatan simulasi ini, saya rasa sangat bermanfaat. Selain anak-anak memahami betul apa yang harus dilakukan pertama kali ketika terjadi gempa, juga untuk melatih rasa empati,” jelas Ulya Kepala Sekolah Alam Ramadhani.
Simulasi yang berlangsung selama 15 menit tersebut diakhiri dengan doa bersama untuk para korban di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Di lapangan terbuka, anak-anak secara bersama-sama membacakan surat al-Fatihah. (Santi Dwi Efianti)