SEJAK setengah abad silam, mayoritas penduduk Desa Blawe, Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri, sehari-hari mampu menghasilkan produk konveksi semacam kelambu, gorden, taplak, dan dipasarkan ke berbagai pelosok negeri. Seiring berjalannya waktu, kawasan seluas 1,28 Kilometer persegi di tepi utara Kediri ini kian subur sebagai kampung sentra pengrajin kelambu dan gorden.
“Saya termasuk generasi kedua, meneruskan bisnis dagang kelambu dan gorden yang dibangun mendiang ayah saya,” kata Mohammad Yusuf Basuki, pada Rabu, 26 Juni 2019, di rumah produksinya, UD Usaha Jaya atau dikenal dengan nama Hayamas. Dalam upaya melebarkan sayap bisnisnya, ia dibantu sang istri, Malikah.

UD Usaha Jaya adalah satu dari sekian usaha kecil menengah yang mencuat dari rumah-rumah masyarakat lingkungan yang hanya terbagi jadi 2 RW dan 12 RT itu. Tiap produsen rata-rata mampu membuat 400an potong tirai per hari, dijual dengan harga mulai Dua Puluh Ribu sampai Seratus Dua Puluh Ribu Rupiah. Pasar yang dijangkau pun beragam. Umumnya ialah toko grosir dan distributor di sekitar pulau Jawa. Namun tidak jarang pula permintaan mengalir dari konsumen wilayah Kalimantan hingga Papua.
Kemunculan pabrik rumahan pembuat kelambu di desa berpenghuni sebanyak 1.624 orang ini, bermula dari seorang pedagang kelambu keliling asal kawasan Periangan, Jawa Barat, bernama Hasanudin.
“Dulu Abah (bapak) jalan kaki, keluar-masuk kampung jualan kelambu bersama 6 kawannya,” kata Dedek, anak perempuan Hasanudin.
Pada tahun 1971 Hasanudin menetap dan membangun usaha dagang kelambu di tanah Blawe. Maraknya pengangguran kala itu, mendorong beberapa pemuda sekitar turut serta membantu memasarkan dagangan Hasanudin. Bermoda sepeda pancal, mereka menjemput pembeli dari kampung ke kampung daerah Kediri, Nganjuk, Tulungagung, Pare hingga penjuru Jombang.
“Setelah bisa beli sepeda motor, saya masuk wilayah Madiun dan sekitarnya,” kata Ikhsanudin, salah satu kelompok pertama yang turut menjajakan kelambu dari Hasanudin. Hingga kini ia masih setia berjualan keliling dengan menggunakan sepeda motor.

Kakek usia 72 tahun ini menambahkan, hanya berselang dua sampai tiga tahun, kebanyakan warga Blawe, termasuk dirinya, sudah mampu membuka bisnis secara mandiri. Awalnya hanya fokus pada penjualan, lambat laun meningkat jadi produsen kelambu, kojong, dan gorden. Pada perkembangannya, Desa Blawe banyak melahirkan sumberdaya seperti penjahit, pemotong kain, dan plisket. Terdapat pula beberapa toko khusus penyedia perlengkapan jahit.
Pangsa pasar dan omset Kelambu Blawe sempat mengalami penurunan, terutama pada masa tahun 2009. Produk tak bermerk yang disinyalir berasal dari Cina marak tersebar ke banyak daerah. Warga Blawe berhasil bertahan dengan cara mengalihkan mesin jahit dan bordirnya untuk membuat karya lain, seperti kain penutup meja-kursi, dan aksesoris tenda.

Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri (BPS) pada laporan “Kecamatan Purwoasri dalam Angka” tahun 2018, terdapat 176 industri kain aktif beroperasi di Desa Blawe. Aktivitas produksi kelambu turut santer terjadi di sejumlah desa tetangga. Seperti 10 pabrik tekstil di Desa Pandansari, 11 produsen lainnya tersebar di Desa Belor, Tugu, Jantok, dan Woromarto.
Bila dibandingkan dengan data tahun sebelumnya, angka tersebut cenderung merosot kisaran 8%. BPS mencatat ada 196 industri kelambu beroperasi di Blawe pada tahun 2017. Adapun 19 industri kain lainya berada di bilangan Belor, Tugu, Pandansari, Jantok, Woromarto, dan Klampitan.

Namun bagi Ikhsanudin, yang menyandarkan kebutuhan hidupnya dari niaga kelambu dan gorden, tumbuh kembang ekonomi warga Blawe selama 48 tahun terakhir menuju ke arah yang jauh lebih baik.
“Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya bila dunia usaha kelambu tidak masuk ke desa sini,” katanya. (Naim Ali)