SETIAP pagi, puluhan penjual baju di Pasar Setono Betek Kota Kediri membuka lapak dengan harapan barang dagangannya laris. Namun, angan-angan kerap tak sesuai kenyataan. Hingga menjelang petang, hanya segelintir pembeli yang mampir. Wajah-wajah lesu saudagar pakaian kini menjadi pemandangan sehari-hari.
“Kadang sehari hanya laku sepotong, beberapa hari kemudian malah tidak ada pembeli sama sekali,” kata Agus, salah seorang penjual pakaian di Pasar Setono Betek, Selasa 28 Mei 2024.
Sepinya pembeli membuat pria 51 tahun ini terpaksa menambang cuan dari pekerjaan lain. Tiap pagi hari atau sebelum membuka lapak, dia menjadi tukang ojek. Jika ada teman atau pengunjung pasar yang membutuhkan angkutan, Agus siap mengantar. Dengan cara ini dia masih bisa mendapat penghasilan, yang sebagian digunakan membayar retribusi lapak pasar sebesar 3.500 rupiah per hari.
Meski di situasi terpuruk, Agus masih rutin berjualan. Akan tetapi, banyak rekannya sesama pedagang baju yang beralih pekerjaan. Sebagian dari mereka ada yang banting setir jadi kuli bangunan.
“Mereka sudah tidak tahan setiap hari tidak ada pendapatan dan terus rugi,” kata Agus.
Menurutnya, awal mula penjualan menurun yaitu berdirinya supermarket atau mall di Kediri pada 2002. Selain itu, maraknya distro, toko ritel, serta bisnis konveksi membuat lapak pakaian di pasar tradisional semakin ditinggalkan.
Berniaga selama lebih dari 25 tahun, Agus menyebut jika situasi sekarang lebih parah dari terpaan Krisis Moneter 1998. Saat itu harga jual memang naik tetapi pengunjung masih banyak. Pasang surut pendapatan sudah ia rasakan, termasuk bertahan saat Pandemi Covid-19. Beberapa kali juga dia mencoba strategi baru, namun tetap dagangan tidak laku.
“Sekarang cuma bisa pasrah, sebab memang sudah jarang orang ke pasar membeli baju,” ujarnya.
Kondisi yang sama juga dialami pedagang pakaian lain di pasar-pasar tradisional Kota Kediri. Misalnya, di Pasar Bandar Kota Kediri, area penjual baju yang berbentuk lorong itu sunyi sejak beberapa tahun terakhir.
Di lokasi ini, lapak-lapak pedagang baju tak seperti lazimnya pasar. Aksi tawar menawar tak terdengar. Di sepanjang lorong hanya dipenuhi berbagai model pakaian yang bergantungan. Raut wajah para penjual juga tampak lesu, namun masih berupaya menawarkan dagangan ke orang-orang yang berlalu-lalang.
“Alhamdulillah, hari ini laku 1 potong,” kata Titik Supriati, penjual baju di Pasar Bandar.
Perempuan 62 tahun itu mengeluh dengan kondisi pasar yang sudah tidak seperti dulu. Jika dulu dia bisa meraup keuntungan 2,5 juta perhari, kini rata-rata dagangan yang terjual hanya 2 potong pakaian saja. Bahkan, kerap pulang dengan tangan hampa.
Stok barang yang dikulak sejak 2018 hingga kini belum terjual. Karyawan yang mulanya berjumlah 10 orang, kini tinggal 2 yang bertahan.
“Semenjak tahun 2018 itu penjualan menurun drastis, semua beralih menggunakan online,” kata perempuan yang sudah menjadi saudagar selama 40 tahun itu.
Titik dan penjual baju lainnya sering mengeluhkan sepinya pembeli pada pengurus pasar. Daniel Dody Suprapto, Kepala Pasar Bandar membenarkan bahwa sering mendapat aduan dari pedagang.
“Dari survey kami, adanya pasar online memang membuat penjualan baju di pasar menurun hingga 70%,” kata Dody.
Pria 37 tahun itu menambahkan, bulan puasa yang dulunya menjadi musim panen sudah tidak berlaku selama 2 tahun terakhir. Mendekati lebaran pengunjung tetap sepi, sama seperti hari biasa.
Menurut Dody, saban hari jumlah kendaraan yang masuk ke Pasar Bandar mencapai 1.300 motor. Di akhir pekan jumlahnya bisa bertambah sebanyak 10%. Jumlah itu dihitung dari karcis retribusi dengan nominal 2000 rupiah sebelum memasuki pasar.
Data itu menunjukkan bahwa sebenarnya minat masyarakat berkunjung ke pasar tradisional masih besar. Namun, tak semuanya mau mendekati area penjual baju. Kios-kios para saudagar kini sepi karena pasar online sudah menguasai.
“Minat masyarakat berkurang karena penataan ruang pasar yang kurang tepat,” kata Katino, Wakil Ketua DPRD Kota Kediri ketika diwawancarai Kediripedia.com via telepon.
Menurutnya, sepinya area pedagang pakaian di pasar tradisional tidak sepenuhnya karena penjual online. Keduanya punya peminat masing-masing.
Pria yang kini menjabat sebagai Ketua DPC Partai Gerindra ini mengaku sudah beberapa kali menawarkan solusi ke pemerintah daerah. Misalnya, tata letak lapak pedagang pakaian ditata ulang. Namun, upaya itu belum bisa dilakukan karena perlu pembahasan lebih serius utamanya penyesuaian dana di APBD Kota Kediri. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post