BUKU berisi tabel-tabel pinjaman modal tampak menumpuk di meja kerja Yuliana Rachmawati. Kepala Koperasi Wahidiyah itu memelototi satu persatu catatan tertulis sambil mengarahkan jari telunjuknya ke lembar neraca keuangan. Setiap hari, Yuli memastikan akuntabilitas dana pada 629 koperasi di seluruh Indonesia yang bernaung dalam Yayasan Perjuangan Wahidiyah Kedunglo Kota Kediri.
“Sistem pengawasan keuangannya terpusat, jadi kalau ada koperasi cabang yang bermasalah bisa segera kita tindak,” kata Yuli, Senin 23 Juni 2024.
Sarjana Akuntansi Universitas Negeri Malang ini mengatakan, koperasi cabang Wahidiyah berdiri di tiap kecamatan di kota/kabupaten, mulai dari daerah Aceh hingga Papua. Seluruh koperasi itu tergolong “sehat”, indikatornya dilihat dari aset keuangan yang terus bergerak. Artinya, jika setiap hari ada transaksi, maka koperasi bisa dikatakan terkelola dengan baik.
Salah satunya Koperasi Wahidiyah Cabang Kecamatan Mojoroto Kota Kediri, jumlah asetnya kini mencapai lebih dari 1 miliar rupiah. Selain simpan pinjam, keuangan koperasi ditunjang dari unit usaha berupa minimarket. Sedangkan jamaah di luar Kediri mengelola koperasi sesuai dengan potensi kawasan masing-masing. Misalnya di Malang dengan potensi susu, atau di Sumatera dengan produksi kopi.
“Di koperasi pusat ada badan pengawas yang bertugas mendorong bergulirnya keuangan tiap koperasi cabang,” kata Yuli.
Dia menjelaskan, Koperasi Wahidiyah dikelola dengan tiga prinsip utama. Pertama, setiap pengamal sholawat Wahidiyah wajib menjadi anggota koperasi di tempat domisilinya. Kedua, tata kelola lembaga diberlakukan hanya dengan satu anggaran dasar. Hal ini dimaksudkan agar koperasi cabang tidak membuat aturan baru yang menyimpang dari koperasi pusat. Ketiga, pemimpin atau pengasuh Wahidiyah boleh melakukan intervensi untuk mengantisipasi perpecahan koperasi cabang.
Koperasi Wahidiyah di tingkat pusat juga merumuskan aturan khusus untuk kegiatan simpan pinjam. Bunga pinjaman tidak boleh lebih dari 2%, bahkan jika memungkinkan hanya 1% saja. Meskipun jumlah pinjaman satu juta maupun seratus juta, koperasi cabang tidak diperkenankan menarik bunga di luar angka yang telah ditetapkan.
“Koperasi adalah implementasi dari dakwah bil hal pada ranah membangun perekonomian bagi umat,” kata KH Abdul Madjid Ali Fikri, Pengasuh Pondok Pesantren Wahidiyah Kedunglo Kediri.
Ulama yang akrab disapa Kyai Fikri ini menyebut, sejak didirikan pada tahun 1999, koperasi menjadi sandaran ekonomi para pengamal Sholawat Wahidiyah di seluruh Indonesia. Latar belakang pendirian koperasi yaitu mayoritas jamaah yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Dalam kehidupan sehari-hari, para petani, pedagang, dan pengusaha UMKM kebanyakan sulit mendapat modal usaha. Jika mengandalkan pinjaman dari bank maupun rentenir, bunganya cenderung besar. Hadirnya koperasi harapannya menjadi solusi atas permasalahan tersebut.
Kyai Fikri menambahkan, ketika Wahidiyah getol mengurusi ekonomi, bukan berarti hanya terpaku pada hal-hal duniawi. Pemberdayaan rohani pada jamaah sudah dilakukan lewat kegiatan rutin pembacaan sholawat Wahidiyah. Di antaranya tiap selesai shalat, rutinan mingguan, maupun bulanan. Selain itu, setiap tahun digelar mujahadah akbar sebanyak 2 kali di Pesantren Kedunglo. Pada kegiatan ini jamaah Wahidiyah dari seluruh Indonesia datang ke pesantren yang terletak di barat Sungai Brantas itu.
“Ekonomi jamaah tentu juga harus dipikirkan, kalau secara finansial mereka sejahtera, ibadah jadi lebih khusyuk,” ujar Kyai Fikri.
Berdirinya Koperasi Wahidiyah tak lepas dari kerja keras ayah Kyai Fikri yaitu, KH. Abdul Latif Madjid. Pada 1999, pentingnya koperasi bagi pengamal sholawat Wahidiyah mulai didengungkan. Misi utamanya yaitu mengurangi angka kemiskinan lewat program pinjaman modal usaha, pemasaran produk, dan pelatihan keterampilan.
Sistem koperasi dinilai paling memungkinkan mengingat jamaah Wahidiyah berasal dari kaum proletar. Berdirinya koperasi membuka kesempatan berbisnis, serta bersaing dengan pemodal besar. Hingga kini, anggota Wahidiyah dilarang meminjam uang dari bank, kecuali mendapat izin dari pengasuh pesantren.
“Jamaah diharapkan bisa mandiri lewat koperasi, tidak bergantung pada pihak manapun,” kata Kyai Fikri.
Pentingnya gerakan ekonomi kerakyatan ini membuat pengasuh Wahidiyah mewajibkan seluruh jamaah menjadi anggota koperasi. Sosialisasi sadar berkoperasi digencarkan melalui berbagai kegiatan di tingkat desa, kecamatan, kota/kabupaten, hingga puncaknya saat ibadah mujahadah.
Momen mujahadah di Pesantren Kedunglo ini dimanfaatkan untuk menguatkan dorongan berkoperasi. Pada kegiatan berskala nasional tersebut, pengurus koperasi dari seluruh Indonesia dikumpulkan untuk evaluasi, serta diberikan kelas-kelas pengelolaan keuangan. Di sela-sela acara ibadah itu pula, pelatihan di bidang kewirausahaan juga digelar.
Ketika koperasi sudah berjalan, langkah strategis berikutnya yaitu melahirkan kemandirian ekonomi para anggota. Dana yang terkumpul di koperasi bisa dijadikan modal para jamaah berbisnis di skala mikro. Salah satunya Sochibul Solchi, jamaah Wahidiyah asal Desa Surat, Mojo, Kabupaten Kediri. Sekitar 5 tahun lalu, dia meminjam modal 5 juta rupiah untuk membuka toko kelontong. Usahanya kini semakin berkembang dengan rintisan bisnis telur ayam.
“Telur-telur ini saya ambil dari jamaah Wahidiyah yang bekerja sebagai peternak,” kata Sochib, sapaan akrabnya.
Lewat upaya itu, dia mengaku berhasil memotong permainan harga para tengkulak. Inisiatif membangun bisnis juga menghidupkan ekonomi bagi masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Selain sebagai pebisnis, Sochib juga menjadi pengurus Koperasi Wahidiyah di Kecamatan Mojo. Menurutnya, kedisiplinan di bidang pembukuan atau akuntansi menjadi faktor penting dalam pengelolaan koperasi. Setiap transaksi keuangan harus dicatat secara akurat dan teratur. Wawasan itu dia dapat dari pelatihan yang berbarengan dengan digelarnya mujahadah di Pesantren Kedunglo.
Pentingnya pencatatan administrasi itu turut digencarkan di koperasi cabang Wahidiyah seluruh Indonesia. Berkat kedisiplinan tersebut, Koperasi Wahidiyah meraih berbagai penghargaan. Di antaranya dari Pemerintah Kota Kediri pada tahun 2017 dengan kategori koperasi paling tertib administrasi. Apresiasi serupa juga didapat dari Kementerian Koperasi dan UKM pada 2016.
“Kami sedang mengkaji kemungkinan Wahidiyah mendirikan bank,” ujar Kyai Fikri.
Menurutnya, kedisiplinan administrasi tersebut menjadi modal penting pengembangan ekonomi jamaah Wahidiyah ke depan. Jika bank berhasil didirikan, harapannya dapat semakin mendorong kegiatan usaha di segala sektor untuk kesejahteraan umat. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post