“BAGI kami, 13-14 Februari bukan hari Valentine. Melainkan hari Erupsi Gunung Kelud.”
Rangkaian kata di foto yang diposting akun facebook Erik Raden Mas Sukoco ini menggelitik. Pemilik akun, Erik Strada mengaku mendapatkan foto itu dari Deni, temannya.
Bukan asal comot. Bagi pria yang akrab dipanggil Sukoco ini, tanggal itu sangat berkesan. Akan selalu dikenangnya hingga akhir hayat.
Tepat tanggal itu, tahun 2014 lalu, Gunung Kelud mengamuk. Dampak letusannya hingga Jawa Barat dan Nusantara Tenggara Barat. Sukoco bersama puluhan ribu warga lereng Kelud merasakan kengerian amuk Sang Kelud.
Tak berlebihan jika menyebut Sukoco bagian dari saksi sejarah letusan Kelud 2014. Sukoco adalah penyiar Radio Kelud FM. Dia juga tergabung dalam Jangkar Kelud yang terlibat dalam aksi penanggulangan bencana Kelud.
Pria bertubuh tinggi besar ini juga asisten Camat Ngancar Ngaseri, yang selalu menyertai ke manapun Pak Camat pergi. Dia kerap berada beraktifitas di Pos Pantau Gunung Kelud. Bahkan, mengambil resiko bertahan di Pos Pantau Gunung Kelud hingga letusan ketiga.
Bagaimana merasakan kengerian berhadapan dengan letusan Kelud? Berikut testimoni Sukoco menyambut dua tahun letusan Kelud yang dituliskannya untuk kediripedia.com:
Pada 13 Februari, waktu terasa sangat cepat. Tidak terasa sudah malam hari. Suasana Pos Pantau Kelud sangat gawat. Ada tremor terus menerus yang menunjukkan pergerakan magma menuju ke permukaan.
Letusan sudah dekat. Saya melihat pengamat yang bekerja tanpa berhenti. Beberapa hari terakhir, mereka bahkan jarang keluar ruang pengamatan.
Malam itu, saya turun ke dapur untuk membuatkan kopi para pengamat. Sebelum kopi jadi, salah satu pengamat turun ke dapur dan bilang: “Co, tremornya sudah mulai kelihatan. Mungkin besok meletus.”
Setelah mengantar kopi, saya ke ruang istirahat bersama Jono. Saya dengar ribut-ribut. Ternyata tremornya sudah keluar sudah tak terhitung sesmiknya.
Setelah itu, saya dimintai bantuan untuk mengoperasikan Handy Talky. Pak camat akhirnya menginformasikan jika status Gunung Kelud dinaikan menjadi Awas. Beliau mengomandokan untuk mengosongkan radius 10 km dari kawah.
Ketika status Awas, kami sudah bersiap-siap. Semua orang di Pos Pantau panik. Mobil diputar ke arah jalan. Disiapkan untuk dievakuasi.
Kami juga melepas pintu Pos Pantau, jika sewaktu-waktu ramai-ramai berlari berjubel di pintu.
Ketika letusan pertama, saya bersama pengamat masih bertahan di Pos Pantau. Dari depan Pos Pantau, kami melihat bunga pijar yang menyembur dari puncak Kelud.
Namun, kami tidak mengambil resiko ketika letusan ketiga. Letusan terlihat sangat dahsyat, material membumbung ke angkasa. Kami cepat-cepat naik mobil. Berpacu dengan turunnya material, saya memacu mobil dengan kecepatan tinggi.
Kami menuju ke kantor kecamatan. Tapi, kami melihat ke timur. Letusan semakin dahsyat. Akhirnya, Pak Camat memerintahkan untuk mengosongkan Kecmatan Ngancar hingga radius 20 km dari pusat letusan.
Kami mengungsi di Convention Hall Simpang Lima Gumul (SLG).
Setelah letusan, keesokan paginya saya kembali ke Pos Pantau untuk mengambil sepeda motor saya yang tertinggal.
Malam tanggal 13 hingga tanggal 14 adalah malam luar biasa dimana saya merasakan ketegangan yang amat luar biasa. Saya beruntung menjadi saksi sebuah peristiwa yang sangat dahsyat. Jujur, meski ngeri, saya merindukan lagi suasana itu. (Danu Sukendro)