RIBUAN pengendara vespa menyalakan mesin kanan secara bersamaan. Suara motor 2 Tak bergemuruh. Asap pekat membumbung ke udara di sekitar kawasan Tugu Sembilan, Monumen Simpang Lima Gumul (SLG), Kabupaten Kediri. Para scooterist itu berkumpul memperingati Harlah Satu Abad Pondok Pesantren Al Falah Ploso pada Minggu, 29 Desember 2024.
Berbagai varian vespa seperti klasik, matic, hingga modifikasi, diparkir berbaris sepanjang satu kilometer. Sekitar 5000 scooterist itu kompak mengenakan dress code berupa sarung. Start dari SLG, mereka berkendara menempuh rute sejauh 23 kilometer hingga finish di Pondok Ploso di Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri.
Para penggemar vespa yang memeriahkan Harlah Pondok Ploso itu sebagian berasal dari Forum Scooterist Kediri (Forscook). Bukan hanya sebagai peserta, mereka juga menjadi panitia acara riding. Selain dari Kediri, scooterist peserta riding datang dari berbagai daerah di Indonesia.
“Forscook menjadi penghubung komunikasi antara panitia Harlah Ploso dengan puluhan komunitas vespa,” kata Sigit Widodo, Ketua Forscook.
Harlah seabad Pondok Ploso mengusung tema “Melestarikan Ngaji, Meneguhkan Khidmah untuk Bangsa”. Kegiatan riding vespa merupakan upaya menjaga tradisi tanpa kehilangan entitas pesantren. Tradisi ngaji berarti melestarikan ilmu yang diajarkan para ulama.
“Harlah 100 tahun ini bukan sekadar selebrasi, tetapi pengingat bahwa tugas dakwah harus terus berjalan, salah satunya dengan menggelar acara riding Scooter Sarungan,” kata Abdurrahman Al Kautsar atau Gus Kautsar, salah satu pengasuh Pondok Ploso.
Ketika sampai pada lokasi finish, ribuan scooterist disambut lantunan ayat Al-Qur’an yang terdengar dari pengeras suara pesantren. Usai riding, kegiatan dimeriahkan dengan pembagian hadiah. Di antaranya, seribu sarung untuk peserta yang datang lebih awal saat start, pengundian dua unit vespa, dan beberapa aksesoris serta sparepart vespa.
Bertempat di Teras Gubuk, kediaman Gus Kautsar, acara diramaikan pula dengan siraman rohani dan hiburan musik. Muhammad Iqdam atau Gus Iqdam mengisi kajian setelah adzan ashar berkumandang. Suasana makin meriah ketika Sabrang Mowo Damar Panuluh naik panggung. Vokalis band Letto yang akrab Noe ini adalah anak dari Emha Ainun Najib atau Cak Nun.
“Kami merasa bangga dan terimakasih kepada teman-teman vespa yang ikut meramaikan acara ini,” ujar Gus Kautsar.
Dia berharap acara seperti ini menjadi momentum kebersamaan. Selain itu, tradisi pesantren dapat digabungkan dengan nilai-nilai modern. Rencananya, kegiatan semacam ini akan dilakukan secara rutin setiap tahun.
Ponpes Al Falah Ploso didirikan atas inisiasi KH. Ahmad Djazuli Utsman dan Hj. Rodliyah Djazuli pada tahun 1925. KH. Ahmad Djazuli memanfaatkan serambi masjid untuk mengajar para santri. Pada awal berdiri, masyarakat awalnya mencemooh keberadaan pesantren. Kala itu, kawasan sekitar pondok digunakan untuk berjudi.
Dalam perjalanannya, aktivitas dunia gelap berangsur-angsur berkurang bahkan akhirnya hilang. Masyarakat berduyun-duyun mendaftarkan anaknya ke pondok. Hal ini ditandai dengan dibukanya Madrasah Lailiyah atau ngaji malam khusus untuk anak-anak kampung sekitar.
Pada 1980-an, pesantren salaf di barat Sungai Brantas ini melahirkan ulama besar yaitu Hamim Tohari Djazuli atau Gus Miek. Ulama yang dikenal zuhud ini adalah pendiri Amalan Dzikir Jamaah Mujahadah Lailiyah, Dzikrul Ghofilin, dan Semaan Al Quran Jantiko Mantab.
Di usia satu abad, Pondok Ploso mempertahankan basis pengajian kitab-kitab salaf atau tradisional. Tiap tahun, jumlah santrinya terus bertambah. Mereka datang dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Lampung, Papua, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post