PRIA kurus itu selonjoran di atas dipan bambu. Matanya menyipit. Raut mukanya teler seperti habis mabuk. Sambil bersandar di bantal dekil, dia memegang pipa bedudan: alat untuk mengisap candu atau opium.
Foto koleksi Tropenmuseum itu menunjukkan pada awal abad ke-19 mengkonsumsi salah satu jenis narkotika ini tak akan dipenjara. Asap candu bebas mengepul di jalanan, rumah, kedai, hingga rumah bordil. Robert Cribb dalam bukunya Historical Atlas of Indonesia menyebut candu sebagai senjata pembodohan sistematis masyarakat Indonesia era penjajahan Belanda.
Satu dari enam pria Indonesia kala itu dilaporkan sebagai pecandu opium. Mulai dari tukang pasang besi rel kereta api, kuli pabrik, pemetik kopi, buruh tebu, pedagang, hingga kalangan pejabat, beramai-ramai menjadi penikmat candu. Sedangkan orang Belanda sendiri malah jarang menghirup opium. Mereka lebih menyukai gin, minuman beralkohol.
Jejak peredaran candu di masyarakat salah satunya dapat ditemui di Kediri, Jawa Timur. Bekas gudang penyimpanan opium masih berdiri kokoh di belakang pertokoan Jalan Dhoho. Bangunan ini terletak di ujung Jalan Raden Patah, Kelurahan Kemasan. Jaraknya hanya beberapa meter di sebelah selatan Stasiun Kediri.
“Opium saat itu bisa dikonsumsi secara legal. Fungsi awalnya sebenarnya sebagai bahan baku obat,” kata Novi Bahrul Munif, pendiri komunitas Pelestari Sejarah – Budhaya Kadhiri (PASAK), Jumat, 20 Desember 2024.
Menurut Novi, gedung itu dibangun hampir bersamaan dengan Stasiun Kediri pada tahun 1882. Bangunan yang kini bercat putih pudar ini adalah saksi bisu bahwa Kediri pernah menjadi salah satu pusat bisnis opium.
James R. Rush dalam buku Candu Tempo Doeloe menerangkan bahwa “Kongsi Kediri” sebagai serikat dagang opium terbesar di Indonesia. Bandar besar pengedar candu ini bahkan mengalahkan para penjual di kota-kota besar seperti Semarang, Surabaya, dan Solo.
Tokoh-tokoh di balik Kongsi Kediri didominasi orang Tionghoa. Mulai dari Tan Kok Tong dan Han Liong Ing pada 1833, dilanjutkan Kwee Siwe Toan 1873-1874, Tan Tong Haij 1875-1877 dan 1884-1886, Tan Hwat Hien 1890-1891, Han Boen Kiet 1892-1894, dan Djie Thay Hien 1895-1900. Di Kediri, mereka adalah orang-orang Tionghoa paling kaya dan sukses.
“Untuk memuluskan bisnis, Belanda mengangkat para bandar besar itu sebagai pejabat Tionghoa dengan titel mayor dan kapten Cina,” ujar Novi.
Strategi dagang ini dikenal dengan istilah Opiumpacht. Belanda mengatur agar kalangan elite seperti orang Tionghoa kaya menjadi pemenang tender di daerah-daerah seperti Kediri. Sedangkan untuk menumpas peredaran opium tak resmi di masyarakat, Belanda menugasi para Jagabaya, pamong keamanan desa.
Bahan baku opium yaitu bunga papaver somniferum tidak tumbuh di Indonesia. Komoditas ini diimpor dari Turki, Persia, dan British Bengal di India. Belanda membelinya melalui pelelangan di Kalkuta. Dikirim lewat agen-agen di Singapura, opium kemudian disalurkan ke gudang-gudang besar seperti di Batavia, Semarang, Lasem, Surabaya, dan Kediri.
Orang-orang Jawa membeli opium dari upah mereka sebagai kuli, pedagang, serta petani. Di pabrik dan perkebunan, para manajer juga menyediakan opium untuk para pekerja. Tiap harinya, rata-rata uang yang dikeluarkan paling sedikit 5 sen hingga 20 sen. Sedangkan upah buruh rendahan sehari-hari hanya 25 sen saja.
Awalnya, opium digunakan untuk menambah stamina. Namun, candu berubah dari obat menjadi kesenangan dan gaya hidup.
“Orang yang mengisap opium merasa kuat, ringan, dan riang,” tulis James R. Rush.
Efek terparah yang dialami para pecandu yaitu halusinasi. Fantasi seksualnya meningkat. Setelah mengisap opium, salah seorang penggunanya mengatakan bahwa selalu melihat perempuan-perempuan cantik dalam mimpinya.
Kondisi masyarkat Indonesia yang dilamun candu ini berlangsung hingga seabad lebih. Peredaran opium baru mereda pada awal 1900-an ketika dunia dilanda krisis ekonomi. Harga gula turun drastis. Panen kopi berkurang akibat serangan hama. Pabrik-pabrik yang tutup mengakibatkan masyarakat sulit mendapatkan penghasilan.
Kongsi Kediri tercatat sebagai bandar besar opium terakhir, namun kemudian bangkrut. Belanda mengganti kebijakan Opiumpacht ke Opiumregie. Kontrol peredaran candu langsung ditangani pemerintah Belanda, tak lagi menggandeng kalangan elite di daerah.
Opium perlahan kehilangan pamor usai kampanye penolakan mulai digencarkan. Para tokoh Islam merumuskan larangan madat atau mengisap candu dalam konsep Molimo. Propaganda anti-opium juga dilakukan Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK), organisasi pergerakan Tionghoa dan Budi Utomo. Sedangkan kesadaran bahaya opium di kalangan priyayi Jawa digagas Raden Ajeng Kartini.
“Kelaparan membuat seseorang menjadi pencuri, tapi rasa lapar opium akan membuat dia menjadi pembunuh,” tulis RA Kartini dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar, seorang aktivis feminisme di Belanda.
Gerakan kolektif anti-opium ini berhasil menurunkan jumlah pecandu. Dari mulanya satu dari enam masyarakat adalah pengguna, berkurang drastis menjadi satu dari enam ratus orang pada 1928. Penurunan itu tak lepas dari berdirinya klinik rehabilitasi di pedesaan. Selain itu, depresi ekonomi berkepanjangan membuat masyarakat tak lagi bisa membeli opium.
Gudang-gudang opium di daerah-daerah di Indonesia akhirnya ditutup, termasuk yang berada di dekat Stasiun Kediri. Seabad usai merajalelanya opium, bekas gudang opium di Kediri beberapa kali digunakan untuk usaha mebel.
“Beberapa kali penyewanya berbeda, namun selalu orang Cina,” ujar Alamin, warga Kelurahan Kemasan, Kota Kediri.
Pria 77 tahun itu menambahkan, gudang ini banyak dimanfaatkan untuk garasi kendaraan. Saat ini, penyewa bangunan itu adalah salah satu pemilik toko elektronik di Jalan Dhoho.
Indonesia sepenuhnya lepas dari cengkraman candu saat revolusi kemerdekaan 1945. Saat kedaulatan negara terancam akibat Agresi Militer Belanda 1 dan 2, para pejuang Indonesia kehabisan uang. Sehingga, stok opium Belanda dikirim ke Singapura dan Thailand untuk ditukar senjata dan uang. Senjata dimanfaatkan untuk militer, sedangkan uang untuk menggaji para pejabat dan pegawai kementerian Indonesia pada 1945-1949. (Dimas Eka Wijaya, Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post