JALANAN Desa Sidorejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri tampak ramai sepanjang hari Rabu, 1 Januari 2025. Seluruh pintu rumah warga terbuka, bersiap menyambut kedatangan tetangga, teman, dan saudara yang hendak anjangsana. Tradisi saling berkunjung ini menjadi puncak perayaan Hari Natal di kawasan yang dikenal sebagai Kampung Nasrani itu.
Dari rumah ke rumah, ucapan “Selamat Natal dan Tahun Baru” dilontarkan. Layaknya lebaran umat Islam, perayaan Natal di Sidorejo lekat dengan persaudaraan, kebersamaan, dan saling memaafkan. Masyarakat di selatan Kampung Inggris Pare itu menyebut tradisi ini dengan Nglencer yang artinya saling berkunjung.
“Tradisi nglencer Natal di Sidorejo rutin dilakukan pada awal tahun,” kata Putro Joko Cahyono, warga Desa Sidorejo.
Pria yang akrab disapa Yoyok ini menjelaskan, anjangsana tidak dilakukan bersamaan dengan Natal 25 Desember. Sebab, pada momen itu masyarakat lebih memilih fokus beribadah di Gereja. Nglencer digelar seminggu setelah Natal sekaligus untuk merayakan tahun baru.
Menurut Yoyok, sejak dia kecil kegiatan ini sudah rutin dilakukan pada 1 Januari. Anjangsana bahkan tak hanya berhenti satu hari. Banyaknya tetangga yang harus dikunjungi, keramaian biasanya terjadi hingga tiga hari. Di rumah-rumah, warga sudah menyiapkan kudapan dan kue-kue. Mereka saling berbincang di ruang tamu yang sudah dihias pohon cemara yang identik dengan Natal.
“Warga saling berkunjung mulai pagi hingga malam hari,” ujar ayah tiga anak itu.
Perayaan Natal di Sidorejo berlangsung meriah karena mayoritas masyarakat beragama Nasrani. Di desa seluas 651 hektare tersebut, jumlah pemeluk Kristen mencapai 95 persen dari total penduduk.
Pada momen ini, para kerabat warga Sidorejo dari luar kota juga beramai-ramai mudik ke kampung halaman. Termasuk, keluarga dari kalangan Muslim. Di antara keramaian anjangsana itu tampak perempuan berjilbab dan laki-laki bersongkok.
“Setiap pemilik rumah yang saya kenal selalu saya kunjungi sebagai bentuk penghormatan,” ujar Nasiqin, salah satu warga muslim di Sidorejo.
Dia mengatakan, kegiatan silaturahmi ini dilakukan bergantian. Di awal tahun, Nasiqin rutin anjangsana ke rumah orang nasrani. Jika saat Idul Fitri, maka umat Nasrani yang akan berkunjung ke rumah orang muslim.
“Tradisi ini sekaligus meneguhkan nilai toleransi beragama,” kata Bagus Krisdijanto, Kepala Desa Sidorejo.
Pria pengkoleksi barang antik itu menjelaskan, tamu yang datang ke rumahnya saat Natal kebanyakan adalah teman-temannya dari luar desa yang beragama Islam. Di Sidorejo, muslim jadi minoritas, namun selama puluhan tahun tak pernah ada konflik.
Sidorejo menjadi permukiman umat Nasrani sejak tahun 1895. Gereja pertama dibangun bersamaan dengan dibukanya lahan pertanian tembakau dan kopi era Belanda. Tanah di daerah tersebut sangat subur karena dialiri lahar dingin letusan Gunung Kelud. Tersebab menjadi lintasan lahar, daerah tersebut dulunya bernama Gerojogan, Parerejo.
Pada tanggal 11 November 1936, Parerejo berdiri dengan nama baru, yaitu Sidorejo. Diambil dari kata “Sido” yang berarti Jadi, dan “Rejo” berarti Ramai. Kini, jumlah umat Nasrani di Sidorejo lebih dari 7000 keluarga, sedangkan muslim sekitar 250 keluarga. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post