LELAKI itu diikat akar pohon lalu ditenggelamkan ke sungai. Beruntung, sosok yang dikenal dengan Raden Panji ini selamat karena ditolong oleh Bayan dan Inggit, dua orang pengawal Dewi Sekartaji dari Kerajaan Jenggala. Panji disembunyikan di istana, kemudian mengubah identitasnya menjadi Wasengsari.
Penggalan kisah cinta Panji dan Dewi Sekartaji itu dapat dijumpai pada relief Candi Mirigambar, Tulungagung. Di candi ini terdapat 11 panil yang dikenal dengan kisah Panji Wasengsari. Secara umum, narasi relief Candi Mirigambar mirip dengan cerita panji yang populer hingga ke negara seperti Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Panji sebagai tokoh protagonis mengalami penderitaan akibat tindakan tokoh antagonis, berikut dengan masalah, konflik percintaan, lalu ditutup dengan akhir cerita bahagia atau happy ending.
“Dari sekian banyak candi di Tulungagung, hanya Mirigambar yang memiliki cerita panji,” kata Suyoto, Juru Pelihara Candi Mirigambar, Sabtu 8 Oktober 2022.
Ada dua belahan cerita di candi yang terletak di Dusun Gambar, Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung itu. Pada teras bawah terdapat relief Panji. Sementara teras atas mengisahkan cerita binatang atau fabel yang diambil dari sastra Tantri Kamandaka, naskah Jawa berbentuk prosa. Misalnya, relief burung belibis, ikan, dan kepiting.
Suyoto menambahkan, keberadaan relief hewan itu membuat masyarakat Tulungagung mengaitkan bangunan ini dengan sosok Angling Dharma. Dia merupakan seorang raja yang menguasai bahasa binatang. Salah satu relief yang menguatkan persepsi warga adalah gambar burung belibis. Dalam epos Jawa, hewan ini dipercaya sebagai jelmaan Angling Dharma.
“Relief kisah Panji baru mengemuka pada tahun 2000-an, saat Lydia Kieven, peneliti asal Jerman datang ke Mirigambar,” ungkap Suyoto.
Dari penelitian Lydia, Suyoto dapat menjelaskan dengan detail sosok Panji yang figurnya identik mengenakan tekes atau topi. Tekes adalah dengan penutup kepala mirip blangkon tapi tidak ada tonjolan di belakang. Deskripsi tentang topi ini juga dijelaskan secara lengkap di buku Lydia Kieven berjudul “Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit”.
Pria bertopi tersebut muncul di panel relief 1 dan 9. Dari 11 rangkaian relief di Candi Mirigambar, 4 relief saja yang utuh. Sedangkan tujuh lainnya rusak, sebagian lagi dicuri.
Namun, empat relief utuh itu sudah bisa menggambarkan latar, plot, dan setting cerita Panji Wasengsari. Kisah itu dipahat di bebatuan andesit dan disusun rapi di antara celah batu bata. Sebelas panil ini mengelilingi bangunan candi, menggambarkan perjuangan sosok Panji yang mengejar cinta Dewi Sekartaji dengan bumbu konflik dua kerajaan sedang bermusuhan.
“Dalam cerita Panji Wasengsari ada beberapa adegan penting, mulai dari pertemuan, dipisahkan, dipertemukan kembali, perpisahan kembali, hingga akhirnya hidup bahagia,” kata Agung Cahyadi, Guru Sejarah SMA 1 Kedungwaru Tulungagung.
Agung menambahkan, cerita Panji Wasengsari berkisah tentang integrasi atau penyatuan. Apapun yang sedang dihadapi jika didasari dengan ketulusan cinta, maka pihak yang saling bertikai bisa bersatu kembali.
Candi Mirigambar diperkirakan berdiri di era awal Kerajaan Majapahit. Hal itu dapat diidentifikasi dari pahatan angka tahun di sejumlah sudut bangunan. Di antaranya 1200, 1342, dan 1448 Masehi. Itu artinya, candi ini sudah difungsikan sejak awal Majapahit, zaman keemasan, hingga fase kemunduran Majapahit.
Selama bertahun-tahun, kondisi candi sempat terbengkalai. Namun setelah pemugaran pada tahun 2021, struktur candi kini lebih tertata rapi. Ada penambahan material untuk mempertegas bentuk candi, serta penataan lingkungan sekitar agar cocok menjadi destinasi wisata.
Candi Mirigambar buka setiap hari, namun Suyoto, jupel yang merangkap sebagai tour guide hanya melayani pada Senin sampai Jumat, dari jam 8 pagi hingga jam 2 sore. Bagi siapa saja yang berkunjung ke candi ini tidak akan dipungut biaya alias gratis.
“Candi ini menjadi destinasi favorit para pelajar di Tulungagung sebagai tempat belajar wawasan sejarah di luar sekolah,” kata Suyoto.
Dia berharap, peninggalan nenek moyang yang menuangkan dokumentasi peristiwa lampau di candi-candi bisa dilestarikan. Agar peninggalan ini bisa digunakan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi generasi yang akan datang.
Suyoto menerangkan, Candi Mirigambar masih perlu diteliti lebih lanjut. Sebab, belum semua relief terjelaskan maknanya. Salah satunya, gambar hewan laut berupa udang yang membawa anak panah. Relief ini menyimpan tanda tanya besar bagi para arkeolog, karena tidak dijumpai di candi-candi lainnya di Indonesia dan hanya ada di Tulungagung. (Nike Dwi Ardianti, Mahasiswa Program Studi Sosiologi Agama IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post