RATUSAN printilan besi tua tampak berserakan, kondisinya berdebu dan berkarat. Di balik tumpukan besi itu terdapat bangkai mobil Jeep Willys CJ-2 bekas Perang Dunia 2, mesin bubut, serta genset bertuliskan Daimler Benz AG buatan Berlin, Jerman. Barang bekas kolonial Belanda ini tersimpan di gedung dekat area parkir Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 4 Pare, Kabupaten Kediri.
“Benda-benda itu pernah digunakan untuk bertempur melawan Belanda pada Agresi Militer 2 tahun 1948,” kata Hendro Widjanarko, guru sejarah SMPN 4 Pare, Kamis, 10 Agustus 2023.
Sekolah yang terletak di Jalan Merbabu, Pare ini berdiri pada 1920 dengan nama Ambacht Leergang atau Sekolah Teknik. Lembaga ini merupakan tempat belajar para pemuda yang lulusannya akan dipekerjakan di pabrik-pabrik Belanda.
Di masa pendudukan Jepang, sekolah ini tetap eksis dengan nama Kokyogako atau Sekolah Pertukangan dan Permesinaan. Namun, pada masa kemerdekaan namanya diganti menjadi Sekolah Teknik (ST). Selain sekolah, gedung difungsikan sebagai markas Detasemen III Pare yang diisi oleh Tentara Genie Pelajar (TGP).
“Sekolah ini tempat merakit senjata dan bom ketika perang Agresi Militer 2 di Pare,” kata Hendro.

Pasukan Belanda menyerbu Kediri pada 25 Desember 1948. Mereka hendak menguasai kembali pabrik-pabrik. Para pasukan TGP yang bergabung dengan serdadu Mastrip, Hizbullah, dan Staf Pertahaan Rakyat (SPR), merapatkan barisan.
Mayor Soenandar menjadi pimpinan serangan pejuang Indonesia di Pare. Dia memerintahkan pasukan untuk merobohkan beberapa infrastruktur penting di Pare dan sekitarnya. Misalnya jembatan di kawasan Pare, Kandangan, dan Badas. Sedangkan pabrik yang dirusak adalah pabrik kopi Sepawon dan Satak di lereng Gunung Kelud.
Tentara Belanda mengetahui bahwa markas komando pasukan Indonesia berada di gedung yang kini menjadi SMPN 4 Pare. Pasukan TGP akhirnya berperang mati-matian agar markas tidak direbut Belanda.
Mereka menghadang Belanda di 3 lokasi, yaitu di Desa Bogo, Sambirejo, dan di jembatan Badas. Gerakan Tentara Pelajar itu tidak diketahui karena bantuan orang tua mereka. Para wali murid ini bekerja di kantor pos, pegadaian, stasiun dan pabrik gula milik Belanda. Mereka berhasil membocorkan informasi serta menemukan titik lemah musuh, sehingga penyerangan ke ST Pare bisa digagalkan.
“Kisah ini didapat dari kesaksiaan vetaran TGP di acara renungan kemerdekaan di sekolah,” ujar Hendro.
Para pejuang TGP sukses mengusir Belanda dengan strategi tipuan bom ranjau. Mereka membuat lubang yang sekilas tampak seperti jalan rusak. Belanda tak mengira jika di dalamnya sudah ditanam peledak.
Akan tetapi, cara ini harus mengorbankan 3 pejuang Indonesia. Ketiganya menjadi martir untuk mengaktifkan bom dari dekat secara manual. Mereka ditangkap dan langsung ditembak mati.

Pada 1951, TGP dibubarkan karena kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) militer yang diinisiasi Bung Hatta. Bersama dengan tentara gerilya lain seperti Mastrip dan Hizbullah, mereka diberi 3 pilihan. Yaitu, melanjutkan sekolah dan diberi biaya pendidikan, bekerja di sektor pabrik, atau mendaftar ke Tentara Nasional Indonesia.
Sedangkan ST beralih nama menjadi SMPN 4 Pare pada 1993. Untuk mengenang perjuangan para veteran TGP, sebuah monumen didirikan sebelah barat daya sekolah. Tepat di bawah monumen itulah, dulunya para pejuang menyembunyikan senjata. Sejumlah amunisi dan selongsong bom turut dipajang pada badan monumen.
Patung monumen menggambarkan sosok tentara muda sedang mengangkat senjata. Itu menjadi simbol keberanian dan semangat juang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. (Moh. Yusro Safi’udin)
Discussion about this post