SEKELOMPOK wanita berdaster itu berdiri mengelilingi mesin pelebur arang batok kelapa. Ketika mesin menyala, serbuk arang bertebaran hingga membuat wajah mereka menghitam terkena jelaga. Ibu-ibu di Desa Babadan, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk ini tengah memproduksi briket. Benda berbentuk kotak ini biasanya digunakan sebagai bahan bakar memasak barberque dan shisha.
Bisnis briket di Kota Angin tersebut dikelola oleh Yudha Novi Riawan. Dia merintis usaha ini pada tahun 2020. Yudha mengenal teknik pembuatan briket dari tempat kerjanya dulu di Surabaya. Saat pandemi Covid-19, dia terpaksa diberhentikan dari perusahaan. Dia lalu pulang ke Nganjuk, kemudian memproduksi briket dengan masyarakat di desanya.
“Waktu itu saya nekat merintis usaha meskipun masih di masa pandemi, tapi alhamdulillah bisa bertahan dan menghasilkan,” ujar Yudha, Sabtu 1 Oktober 2022 ketika ditemui di lokasi produksi briket yang terletak di belakang rumahnya.
Briket buatan Yudha banyak dilirik pengusaha di dalam negeri. Selain itu, beberapa kali menembus pasar internasional. Di antaranya, diekspor ke beberapa negara seperti Turki, Arab Saudi, dan Iran.
Untuk pasar mancanegara, briket dibuat dari batok kelapa premium. Standar tinggi ini biasanya diminati konsumen dari negara-negara beriklim dingin, seperti Eropa dan Timur Tengah. Di negara-negara Arab, briket digunakan untuk bahan bakar shisa. Sedangkan di Eropa, briket sering digunakan menjadi bahan bakar barbeque dan penghangat ruangan.
Menurut Yudha, kualitas briketnya lebih baik dibandingkan barang buatan Cina. Sebab, produksi briket berbahan arang kelapa dibuat tanpa campuran bahan kimia. Usai arang dijadikan serbuk, arang dicampur tepung tapioka agar mengeras lalu dipanaskan. Adonan briket yang sudah jadi kemudian dipotong berbentuk kotak atau dadu.
“Briket organik tak berbau, tidak terlalu berasap, dan tidak berdebu,” kata Yudha.
Dia menambahkan, briket premium harus melalui sejumlah uji kualitas. Langkah yang biasanya dilakukan yaitu menjatuhkan briket dari ketinggian kurang lebih satu meter sebanyak empat kali. Jika tidak pecah maka bisa disebut briket premium. Selain itu, standar premium dapat dilihat abu sisa pembakaran yang berwarna putih, lalu ketika briket dibakar menghasilkan bara api berwarna merah.
Yudha mengambil bahan dasar batok kelapa dari daerah Sumatera dan Sulawesi. Dia tidak menggunakan kelapa dari Jawa karena kadar kepadatannya lebih rendah.
“Batok kelapa saya datangkan lewat jasa para supplier,” ujarnya.
Briket premium dijual 13 ribu per kilogram. Sedangkan yang medium harganya 9 ribu. Dia juga menjual briket jenis BBQ di harga 7 ribu per kilogram dan briket kayu untuk panggangan sate dengan harga 5 per kilogram.
Dari usaha yang dia tekuni dua tahun terakhir ini, yudha bisa menghasilkan sekitar 40-70 juta perbulan. Dalam sehari, produksi briket mencapai 200-250 kilogram. Jika ditotal, dalam satu bulan dia bisa membuat briket sekitar 5-7 ton.
Menurut Yudha, bisnis briket yang mengandalkan hasil dari alam ini ke depan semakin menantang. Pohon kelapa sekarang rentan terkena hama, bahkan tidak berbuah. Kondisi itu membuatnya harus mencari bahan baku alternatif.
Yudha kini tengah menguji apakah batok kelapa bisa diganti dengan batok kelapa sawit dan kemiri. Sehingga, bisnis yang sudah menembus pasar internasional itu dapat bertahan, serta bisa terus memberdayakan warga sekitar. (Adib Masruhan, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post