PENEMUAN teknologi mesin uap pada tahun 1784, membuka lembaran baru peradaban era modern. Benda ciptaan James Watt ini salah satunya diterapkan pada moda transportasi darat, kereta api. Penggunaan lokomotif bertenaga uap berhasil mendorong percepatan ekonomi yang ditandai dengan peristiwa Revolusi Industri di Inggris.
Kereta yang digerakkan dengan turbin energi uap masuk ke Indonesia pada masa kolonial. Di periode tahun 1900 hingga 1920, Pemerintah Hindia Belanda gencar membangun infrastruktur kereta untuk meningkatkan industri gula. Salah satunya, di kawasan Kediri, Jawa Timur.
Setiap pabrik dilengkapi jalur rel lori angkutan yang menghubungkan perkebunan tebu ke lokasi produksi. Sayangnya, dari sebelas pabrik hanya ada tiga yang masih berproduksi sampai sekarang. Antara lain Pabrik Gula Mrican, PG Pesantren, dan PG Ngadirejo.
Meski sudah seabad berlalu, jejak-jejak kejayaan industri gula di Kediri masih bisa dijumpai hingga kini. Baik itu berupa dokumen foto, maupun tinggalan fisik seperti infrastruktur jalur kereta dan sejumlah bangunan bekas pabrik gula. Salah satu heritage yang sampai sekarang terjaga keasliannya yaitu menara berarsitektur kolonial di belakang Kantor Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri.
Berwarna putih pudar, dua menara itu masih berdiri kokoh di antara ladang-ladang tebu. Keduanya mempunyai konstruksi berbeda meskipun berdekatan. Bangunan di sebelah utara didesain ramping dengan tinggi sekitar 20 meter mirip menara masjid. Sedangkan satunya berukuran pendek dengan diameter lebih lebar menyerupai jamur. Atap kedua menara terbuat dari besi tipis berwarna cokelat tua akibat berkarat.
“Menara itu digunakan sebagai tempat mangkal trem uap perkebunan tebu di zaman Belanda,” ujar Budi Iswanto, salah seorang warga Desa Kandat, Minggu, 19 Juli 2020.
Dia menerangkan, masyarakat sekitar biasa mengenal bangunan itu dengan sebutan tempat minum kereta. Tepat di sebelah timur menara terdapat sumur dan ruangan kecil untuk menaruh pompa air. Di bagian tubuh dan bawah gedung masih menempel potongan-potongan pipa berbagai ukuran.
Bentuknya yang menjulang, berfungsi memudahkan pengisian air ke dalam ketel uap kereta api. Ketersediaan air memang menjadi unsur penting pada mesin-mesin uap. Ratusan liter air yang direbus sampai mendidih kemudian menghasilkan energi bertekanan kuat. Hasil dari dorongan uap itulah yang menggerakkan rangkaian piston untuk memutar roda lokomotif.
Sedangkan bahan bakar merebus air mengandalkan kayu jati dan batu bara. Kedua benda itu dimasukan melaui lubang tungku yang terletak di kabin masinis. Asap hasil pembakaran akan dikeluarkan melalui pipa menuju ujung depan kereta yang berada jauh dari ruangan juru kemudi kereta.
Masyarakat Kediri mengenal kereta uap ini dengan Sepur Trutuk, ada juga yang menyebutnya Sepur Kluthuk. Selain tebu, lori yang ditarik lokomotif uap dimanfaatkan mengangkut bahan-bahan pangan seperti padi, singkong, dan jagung. Bahkan, kereta dengan kecepatan maksimal 20 km perjam itu juga mengantarkan penumpang.
“Jika diibaratkan, water torn tersebut berfungsi layaknya pom bensin di era sekarang,” kata Budi.
Secara administratif, menara tersebut terletak di dalam komplek Gudang Quality Control Pabrik Gula Ngadirejo. Di era sebelum kemerdekaan hingga akhir tahun 1980an, bangunan itu merupakan bagian penting dari komoditas gula PG Ngadirejo. Keberadaannya menjadi titik transit bagi sepur angkutan tebu di perkebunan Kediri Selatan. Misalnya daerah Kandat, Butuh, Jimbun, Sambi, Ngadiluwih, Kras, dan Plosoklaten.
Meskipun menara water torn kini sudah tidak terpakai, sejumlah gedung di sekitarnya masih difungsikan. Selain gudang pengawasan, bangunan itu dimanfaatkan sebagai perkantoran PG Ngadirejo. Gedung-gedung yang berdiri di lahan seluas 1 hektar itu semuanya bercirikan arsitektur kolonial.
“Bangunan di sini sangat cocok untuk lokasi syuting film berlatarbelakang sejarah,” kata Dendik Ruliyanto, pegawai kantor Kecamatan Kandat.
Menurut lelaki dua anak, menara itu sering dijadikan spot foto karena sangat eksotik dan instagramable. Anak-anak muda dari Desa Kandat dan wilayah lain di Kediri kerap menyambangi gedung ini di pagi dan sore hari. Den Basito, musisi beraliran Reggea juga memanfaatkanbangunan tersebut dalam pembuatan video klip lagu terbarunya berjudul Maido.
Dendik menambahkan, gedung peninggalan Belanda tersebut ternyata masih menyisakan misteri. Beberapa sisi bangunan belum banyak dieksplorasi. Salah satunya, keberadaan terowongan yang diduga sebagai bunker.
“Terowongan itu sangat dalam, hingga kini belum ada yang berani masuk ke sana,” ujar Dendik.
Terlepas dari itu, menurutnya, kawasan heritage di Kediri Selatan layak dilestarikan. Jika penginggalan tersebut dipelihara dengan baik, akan memperkaya khazanah pengetahuan tentang peradaban Kediri. Sehingga, kejayaan industri tebu dengan kereta uap menjadi catatan penting dalam sejarah dan bisa dipelajari dari generasi ke generasi.
Keberadaan menara tempat minum kereta uap itu sekaligus membuka tabir sejarah. Misalnya tentang bagaimana nasib jalur rel lori angkutan yang saling menghubungkan perkebunan tebu di Kediri. Apakah tenggelam ke dalam tanah seperti candi atau telah hilang dicuri, sangat menarik untuk ditelusuri kembali. (Kholisul Fatikhin)