TIDAK ada yang memungkiri, bersepeda adalah satu di antara tren yang mencuat karena pandemi corona. Selain untuk olahraga atau sekadar bergaya, pit kembali dilirik banyak orang karena kejenuhan tinggal di rumah. Alhasil, masyarakat kini bondong-bondong membeli sepeda baru atau mengeluarkan kembali koleksi lama yang terbengkalai di gudang. Kejadian itu dibarengi dengan lonjakan permintaan onderdil serta berbagai perlengkapan kereta angin. Salah satu peranti yang juga diburu para goweser adalah helm sepeda.
Helm dipercaya mayoritas goweser sebagai peranti penting untuk mengurangi risiko cedera akibat benturan saat kecelakaan bersepeda. Dari berbagai model helm yang kini beredar di pasaran, umumnya dengan cangkang dari bahan polikarbonat, plastik ABS, kevlar, dan fiberglass. Sementara di bagian dalam dilapisi busa yang didesain lentur. Padding atau liner dari material polistirena ini berfungsi untuk menyerap dan menyalurkan tekanan. Khususnya mengurangi benturan sebanyak mungkin terhadap tengkorak kepala dan leher.
Namun teknologi helm sepeda sejauh ini diciptakan hanya untuk menahan hantaman dari kecepatan 20 Kilometer per jam. Setara dengan kekuatan rata-rata kendaraan roda dua berpenggerak tenaga manusia itu melaju. Hal tersebut dikemukakan oleh Eric Richter, manajer senior bidang pengembangan di Giro, salah satu produsen helm sepeda terbesar di dunia yang berbasis di Santa Cruz, California, Amerika Serikat.
Dalam wawancara dengan majalah Cycling Industry News pada Senin, 6 Juli 2020, Richter mengungkapkan, standar pengujian helm sepeda di perusahaannya difokuskan pada hal-hal yang bersifat elementer saja. Seperti kemampuan menahan benturan kepala orang saat terjatuh atau terpelanting dari sepeda. Biasanya disebabkan karena kondisi lintasan atau gangguan konsentrasi pesepeda saat mengayuh pedal.
“Kami tidak mendesain helm untuk mengurangi cedera parah, khususnya akibat tabrakan yang melibatkan mobil atau kendaraan bermotor lain,” kata Richter. Bilamana standarisasi pengujian itu harus dilakukan, ia melanjutkan, ada banyak faktor yang perlu diteliti lagi lebih mendalam. Seperti menghitung kecepatan, massa, sudut atau titik tabrakan, hingga profil kendaraan bermotor.
Richter berpendapat, tidak semua helm memiliki standar keselamatan yang sama. Bahkan tiap pelindung kepala memerlukan protokol pengujian berbeda. Adapun desain dan fungsi helm sepeda yang dibakukan dewasa ini, menyesuaikan karakter serta energi kelajuan sepeda pada umumnya.
Fakta itu kian mewarnai diskusi panjang di kalangan cyclist di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pokok utamanya, kenyataan pemakaian helm tak serta-merta akan menyelamatkan pengguna sepeda. Berlainan dengan helm sepeda motor, cycle helmet cenderung ringan dan rentan terhadap benturan keras. Hingga mengakibatkan cedera fatal pada kepala. Namun insiden ini seringkali terjadi, saat pesepeda dilanggar oleh kendaraan lain yang bergerak dengan kecepatan lebih tinggi.
“Tapi saya tetap memakai helm untuk berjaga-jaga, siapa tahu ban sepeda saya terperosok ke lubang jalan dan saya jatuh,” kata Purwanto Setiadi, aktivis sepeda asal Jakarta.
Menurut penulis buku “Solilokui Sepeda” ini, gowes sejatinya merupakan kegiatan tak berbahaya. Tapi tetap tak terlepas dari risiko kecelakaan yang biasanya timbul akibat sejumlah faktor. Yaitu, desain dan kondisi jalan yang kurang bersahabat, bersinggungan dengan kendaraan bermotor, dan kesadaran pesepeda berlalu lintas.
Sampai kini, hanya sedikit negara yang mewajibkan warganya menggunakan helm saat ngontel. Di antaranya, Australia, Selandia Baru, dan Argentina. Sementara aturan itu tidak berlaku di negara-negara lain seperti Denmark, bahkan Belanda. Padahal, sekitar 30 persen dari seluruh perjalanan penduduk negeri kincir angin ini dilakukan dengan sepeda. Menariknya, European Cyclists Federation mencatat, Belanda sebagai negara dengan angka kematian kecelakaan bersepeda paling rendah dibandingkan dengan kawasan lain.
Capaian itu, beriringan dengan keberhasilan Belanda membangun sistem jalan yang melindungi pesepeda. Terutama dari lalu lintas jalan yang bergerak cepat dan sulit diprediksi. Bila tatanan tersebut berjalan di semua lapisan, Federasi Pesepeda Eropa memperkirakan, hanya ada satu kematian pesepeda per 33 juta kilometer kegiatan bersepeda. Artinya, seorang pesepeda biasa memerlukan waktu selama 21.000 tahun untuk menempuh jarak ini.
“Sebenarnya, tindakan paling pokok yang menguatkan keselamatan bersepeda di jalanan adalah meredam kecepatan,” tegas Purwanto.
Pengurangan laju itu memungkinkan pesepeda memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sehingga punya waktu untuk bereaksi, menghadapi semua kondisi yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Di tengah konsentrasi dan kehati-hatian genjot pedal ini, helm sepeda harus tetap terpasang di kepala. (Naim Ali)