HENTAKAN back beat drum menyentak bersamaan dengan suara bass yang cukup dominan. Alunan lagu berjudul “Head on Fire” ciptaan Igmo Band itu terdengar makin gahar, ketika suara gitar distorsi menorobos ke dalam birama dengan sangat rapi. Lengkingan vokal dari sang vokalis, Pradio Manggara Putra, menguatkan nuansa rock klasik yang diusung grup band asal Kota Kediri, Jawa Timur.
Lagu “Head on Fire” itu adalah satu dari delapan lagu di album Igmo berjudul Take it over. Rencananya, album perdana yang seluruh lagunya berbahasa Inggris ini akan dirilis dalam waktu dekat.
“Lagu-lagu kami banyak terinspirasi dari band-band legendaris seperti Led Zeppelin, Deep Purple, dan AC/DC,” kata Pradio, Sabtu, 23 Januari 2021.
Meski belum resmi diluncurkan ke publik, sejumlah lagu mereka sudah dapat didengarkan melalui kanal youtube Igmo Official. Di antaranya, No time after weekend, Dark Rhymes, dan Awesome. Selain Dio yang berposisi sebagai vokalis dan lead gitar, formasi band yang terbentuk pada tahun 2015 itu diisi oleh Muhammad Anggra sebagai bassist, Iga Dahana di rhtym gitar, dan Ilham Bintang sebagai drummer.
“Secara konsep, band ini bergenre klasik rock dengan kemasan sound yang lebih modern,” ujar Khutut, Manager Igmo dan Field Manager Soundjana label.
Khutut mengatakan, Soundjana merupakan indie label berbasis di Kediri yang menangani karya dari IGMO. Mulai dari proses rekaman, penjualan lagu, promosi, manajemen hingga merumuskan tentang royalty di platform streaming digital, semuanya di bawah kendali dari Soundjana.
Langkah awal untuk mengenalkan IGMO ke tengah publik salah satunya dengan menghelat acara hearing session padaSabtu, 23 Januari 2021 di Cafe Gerdu Laot. Digelar secara terbatas, kegiatan itu dihadiri sejumlah musisi senior, komunitas, dan jurnalis. Misalnya, David CB; Eko Sumarsono, musisi Jazz Kediri yang pernah berkarir selama 20 tahun di Bali dan pemilik Klinik Jazz Kediri; Benk Ibra, perintis event Jazz Brantas; dan beberapa pegiat radio asal Malang.
Ketika seluruh lagu dalam album Take it Over itu diperdengarkan, mayoritas pengunjung mengapresiasi karya-karya Igmo. Salah satunya dari David CB, gitaris dari CB band yang tenar di era 1990an.
David mengatakan bahwa sangat terkesan dengan musikalitas IGMO. Secara teknik, lagu-lagu mereka sangat layak menjadi konsumsi publik. Menurutnya, hal yang menonjol dari penampilan Igmo adalah permainan gitar dan vocal.
Suara melengking dari sang vokalis, Dio, sangat kental dengan unsur rock di tahun 1970 hingga 1980. Meski belum bisa disandingkan dengan Robert Plant, vokalis Led Zeppelin, warna vokal Dio sudah cukup cadas.
“Secara aransemen lagu, mereka sangat bagus. Jika suara gebukan drum bisa dibuat lebih lawas, pasti lebih enak didengar,” ujar David.
Pria empat puluh delapan tahun itu menambahkan, keputusan memilih semua lagu dalam Bahasa Inggris itu layak dipertimbangkan. Menurut pengalamannya terjun ke industri musik, publik justru lebih mudah menerima jika lagu dibuat dalam Bahasa Indonesia.
David melanjutkan, akan tetapi kondisi itu sekarang terpulang ke perspektif masing-masing. Di era yang serba digital semacam ini, pasar musik sudah tidak bisa diterka arahnya. Masyarakat kini sudah lepas dari bayang-bayang genre, apalagi bahasa tertentu. Mereka cenderung mendengarkan musik yang sesuai dengan isi hati mereka.
“Karya-karya Igmo sangat berpeluang mendapat tempat di publik, tapi bisa saja terpuruk,” kata Ketua Komunitas Kediri Maen Gitar itu.
Terlepas dari itu, David memandang jika kemunculan Igmo bisa menjadi penanda bahwa gairah musik rock di Kediri mulai bangkit kembali. Sebab, sejak kemunculan CB Band dan band lain seperti Kill Harmonic dan Mushroom di era 1990an, praktis tidak banyak band beraliran rock yang menelurkan karya. David berharap, Igmo yang diisi oleh para pemuda millenial ini dapat terus mempertajam skill dan jam terbang. Sehingga, mereka bisa mewarnai pasar musik nasional.
“Usai rilis album nanti, kita berencana akan mengadakan tour ke sejumlah daerah,” kata Dio.
Para personil Igmo dan Soundjana meyakini, jika musik gahar ini tak akan pernah mati dan tak akan mungkin tergerus oleh zaman. Mereka percaya bahwa musik seperti halnya dunia fesyen, di mana selera publik cenderung mengulang tren yang telah lalu. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post