SUDAH mulai condong ke barat, tapi terik matahari masih menyengat. Beberapa sepeda motor dan mobil melaju, hilir-mudik memecah lengang. Panas di atas permukaan aspal, mengubah pandangan mata seolah berselancar di atas riak air. Seperti fatamorgana, begitu kira-kira.
Ahad, 20 September 2015, jalur yang menghubungkan desa Jongbiru dan Kwadungan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tak terlalu ramai. Tapi pada hari kerja, jalan sepanjang kurang lebih 1,4 kilometer itu padat lalu lintas. Semua jenis kendaraan memenuhi badan jalan.
Tidak ada yang tahu nama jalan yang membentang dari perempatan lampu merah Jongbiru dan berakhir di perlintasan rel kereta api Kwadungan itu. Tapi masyarakat suka menandainya dengan sebutan Jalan Jongbiru. “Baru sadar kalau jalan ini tidak ada namanya,” kata Husni, pencari rumput yang sedang melintas naik sepeda pancal, mengusung rumput pakan ternak.
Meskipun Jongbiru Road tidak terlalu panjang, tapi posisinya sangat penting. Rute itu merupakan akses penghubung desa-desa di kawasan Kecamatan Ngasem menuju jalan raya Kediri-Surabaya. Akibatnya, banyak kendaraan memilih melintasi jalur itu. Harus ekstra hati-hati jika truk gandeng sedang lewat. Bisa-bisa pengendara sepeda terjungkal ke berem jalan jika terpepet roda truk.
Dari ujung barat, sebelah selatan jalan ini ditandai tembok tinggi pabrik Unit XI dan Unit IX milik PT Gudang Garam Tbk. Sementara di sebelah utara, berbatasan dengan pemukiman yang berlanjut dengan hamparan persawahan hingga jalur rel kereta api.
Tingginya arus lalu lintas di Jalan Jongbiru dan perlintasan kereta api yang tidak berpintu palang, membuat sejumlah warga turut menjaga perlintasan rel kereta api selama 24 jam. Kondisi jalan yang tidak terlalu lebar, juga kerap merepotkan pesepeda. Mereka sering harus berhenti ketika truk-truk besar melintas karena roda truk bisa sangat mepet ke samping kiri, membahayakan pesepeda.
Tapi sejak menjelang lebaran 2015 lalu, pesepeda bisa lebih nyaman berkendara di Jongbiru Road. Berbarengan dengan perbaikan dan pengaspalan jalan, dibangun pula jalur khusus pesepeda pancal. Lebar jalur sepeda itu sekitar 1 meter, berada di sisi kiri dan kanan jalan. Dengan permukaan berwarna hijau dan bergambar ikon sepeda warna putih di sepanjang jalur, siapapun tahu jalan itu khusus buat pesepeda.
Yang menarik, ikon sepeda yang tergambar di aspal hijau dirancang timbul di permukaan jalan, membuat membuat keberadaanya tampak jelas. Jika ada sepeda motor, mobil roda empat, atau truk yang rodanya menginjak jalur itu, boleh dibilang kebangetan banget.
Para pekerja pabrik, anak sekolah, dan pesepeda lainnya, tak lagi cemas terserempet truk-truk besar atau kendaraan roda empat. Mobil-mobil yang saling berpapasan, tidak lagi bisa seenaknya menyerobot jalur pesepeda.
“Lintasan khusus pesepeda Jongbiru ini merupakan jalur sepeda pertama di Kediri, dan sangat membantu masyarakat pengguna sepeda,” kata Bambang Sukoco, pecinta sepeda yang kerap berangkat ke kantor naik sepeda.
Sebagai aktivis bike to work, pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kediri ini berharap jalur khusus sepeda terus diperbanyak di seluruh ruas jalan di Kota dan Kabupaten Kediri. Padatnya lalu lintas jalan yang dipenuhi kendaraan bermesin, membuat posisi pesepeda terpinggirkan. “Jika semakin banyak pengguna sepeda, selain masyarakat sehat, juga menghemat penggunaan bahan bakar minyak,” kata Bambang.
Harapan Bambang tentu tak terlalu berlebihan. Tengok saja Belanda. Negeri Kincir Angin itu sangat serius memperhatikan kenyamanan pengendara sepeda. Selain memiliki jalur sepeda sepanjang 32 ribu kilometer, inovasi pembangunan jalur sepeda juga terus dikembangkan. Diantaranya, jalur Van Gogh-Roosegaarde di Kota Nuenen yang menyala pada malam hari. Jalur fenomenal itu popular dengan sebutan rute glow in the dark.
Karya disainer Daan Roosegaarde bekerjasama dengan perusahaan Heijmans Infrastructure itu diinspirasi karya pelukis Vincent Van Gogh yang berjudul The Starry Night. Dengan cat khusus yang bisa menyerap sinar matahari, ketika hari mulai gelap sinar itu memancar di sepanjang permukaan jalan. Jika dilihat dari atas, mirip lukisan Gogh yang terkesan benderang.
Saking banyaknya jalur sepeda di Belanda, akibatnya banyak yang belum bernama. Lima bulan lalu, tepatnya tanggal 14 April 2015, Pemerintah Kota Den Haag meresmikan nama jalan dengan memakai nama warga Indonesia. Munirpad alias Jalan Munir, diambil dari nama aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia, Munir Said Thalib. Lelaki kelahiran Malang, 8 Desember 1965 itu meninggal dalam perjalanan hendak mendalami ilmu hukum di negeri Belanda pada 7 September 2004.
Munirpad berada di kawasan yang nama-nama jalannya mangabadikan para tokoh kemanusiaan dan pejuang HAM. Ada Jalan Bunda Theresa, Martin Luther King, Salvador Allende, juga Nelson Mandela.
Seperti banyak rute sepeda di Belanda yang belum punya nama, Jongbiru road adalah jalan tanpa nama. Meskipun panjangnya tak sampai 2 kilometer, tapi keberadaanya sungguh memberi rasa nyaman orang-orang yang setia memilih sepeda sebagai alat transportasi. Jika jalur seperti itu semakin banyak terbentang di peta Kota dan Kabupaten Kediri, bukan tidak mungkin gelombang besar kaum pesepeda akan lahir. Dan itu menandai hadirnya gaya hidup sehat, gaya hidup hemat, gaya hidup bermartabat.(Dwidjo U. Maksum)