Hal yang mudah diucapkan, tetapi sukar dilakukan salah satunya adalah merawat konsistensi. Di saat ketekunan pada satu bidang tertentu mulai terajut, sering pula rasa bosan dan jumud menggelayut. Namun, perkara itu tak berlaku bagi Aroni; pria yang tinggal di Desa Dermojayan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar ini, selama lima puluh tahun terakhir, tetap setia pada pekerjaannya sebagai pedagang kambing.
Dalam kurun waktu tersebut, kakek berusia tujuh puluh tahun itu, tidak pernah sekalipun berganti profesi. Sejak remaja hingga sekarang, Ia menikmati berdagang dan berternak binatang memamah biak ini. Secara rutin, usai menunaikan ibadah sholat subuh, Aroni berangkat ke pasar hewan. Tujuannya yaitu Pasar Gambar dan Cangkring di Kabupaten Blitar, serta Pasar Ngunut di Kabupaten Tulungagung.
“Saya juga sering berdagang di daerah Kediri, biasanya ke Pasar Sambi,” kata Aroni di rumahnya, Minggu, 1 Juli 2018.
Aroni mengandalkan sepeda motor 2-tak miliknya sebagai moda ke pasar hewan. Pada jok belakang motor, dipasang box portabel berkonstruksi kayu. Wadah yang populer dikenal sebagai obrok itu sanggup memuat belasan ekor kambing dalam sekali jalan.
Kambing-kambing dagangan Ia dapat dari hasil ternak sendiri. Namun, tak jarang pula yang sengaja dibeli dari warga sekitar. Rata-rata, kebutuhan sehari-hari masyarakat Dermojayan tercukupi dari berternak hewan mamalia seperti sapi dan kambing. Sudah jadi pemandangan umum, di halaman depan rumah warga banyak dijumpai tanaman rumput gajah.
“Rumput tetangga lebih hijau, karena rumput gajah punya saya baru saja dipanen,” terang Aroni sembari sesekali melempar canda.
Daripada kepayahan untuk mencari rumput, Aroni serta warga sekitar memilih memanfaatkan halaman depan rumah yang cukup luas untuk menanam rumput gajah. Flora dengan nama latin Pennisetum purpureum itu, tumbuh di pekarangan seluas lapangan basket. Menurut kakek tiga cucu ini, rumput gajah lebih bernutrisi untuk hewan ternak.
Berjualan kambing dari petang hingga siang hari, kegiatan menyemai rumput gajah dilakukan selepas pulang dari pasar. “Biasanya saya lanjut bekerja di kandang dan kebun hingga larut malam,” imbuhnya.

Puluhan tahun berdagang kambing, berbagai cerita manis maupun getir pernah dia alami. Meski sudah tergolong lansia, beberapa kejadian masih diingatnya secara detail. Termasuk peristiwa yang terjadi di masa awal berdagang, tepatnya pada tahun 1975.
Kala Aroni mengangkut belasan ekor kambing menuju Pasar Ngunut di Kabupaten Tulungagung, ia menyeberang sungai Brantas dengan menggunakan jasa perahu. Sayangnya, beban yang terlampau berat membuat perahu yang ditumpanginya nyaris terbalik. Ia beruntung karena sanggup lolos dari kecelakaan tersebut. Namun sebagian kambing dagangannya hanyut ke aliran Sungai Brantas.
Buntut dari peristiwa itu, aktivitas Aroni menyeberang sungai kemudian berjualan kambing di Pasar Ngunut tidak lagi dilakukan. Ada sedikit rasa trauma di benaknya, Ia lebih memilih pasar di kawasan Blitar dan Kediri untuk mencari pembeli. Aroni tetap gemar menaiki perahu bila sekadar berkunjung ke Tulungagung, tapi tidak untuk urusan berdagang.
Selain peristiwa di Tulungagung, Ia tak bisa melupakan insiden ketika terperosok ke sungai aliran lahar Gunung Kelud di kawasan Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar. “Kejadian itu saya alami di tahun 1977, saya masih ingat karena harinya berdekatan ketika anak kedua saya lahir,” kenang Aroni.
Seperti hari-hari biasa, seusai sholat subuh Aroni berangkat ke Pasar Sambi. Kala itu, ia masih mengendarai sepeda untuk membawa kambing-kambingnya. Lampu jalan yang tak begitu memadahi, membuatnya kesulitan menyusuri jalanan dan mengakibatkan Ia terperosok ke sungai. Sebelah kakinya menancap di kubangan lumpur berkontur tanah liat yang cukup dalam. Aroni tak bisa berbuat banyak selain berharap pada pertolongan orang yang melintas.
“Jalanan sangat sepi waktu itu, berteriak pun percuma. Ya, akhirnya merokok saja,” katanya sambil terkekeh.
Menunggu selama hampir dua jam, seorang pengendara mobil sedan yang hendak menuju Surabaya menghampirinya. Aroni mendapat pertolongan dari orang yang kebetulan lewat tersebut.
“Mau jualan kemana kok tengah malam begini?” tutur Aroni sambil menirukan perkataan orang yang menolongnya. Ia sontak kaget mendengar pertanyaan tersebut dan lantas bertanya-tanya saat itu pukul berapa.
Ketika diterangkan bahwa waktu itu baru pukul 01.00 WIB, Ia sempat tak percaya. Aroni mengira, jam sudah beranjak subuh, padahal masih tengah malam.
“Saking bersemangat, saya jadi lupa kalau jam di rumah tidak berfungsi,” ujar Aroni.
Pria yang kini mengemban amanah menjadi imam sholat di masjid ini, sampai sekarang masih meneruskan usahanya. Ia menjalani itu semua secara sederhana. Meski sebenarnya, melalui pengalaman puluhan tahun menekuni usaha jual-beli kambing, luas jaringan dan kepercayaan dari para kolega, merupakan modal besar untuk mengembangkan bisnisnya.
Namun, Ia menganggap ada yang lebih penting dibandingkan harta benda. Menurutnya, kekayaan iman pada sang pencipta dan keharmonisan keluarga adalah sesuatu yang perlu diutamakan.
“Saya tidak ada cita-cita ingin kaya, saya hanya ingin hidup berkecukupan,” imbuhnya. (Kholisul Fatikhin)