MEJA kerja milik Min Erfan tampak berdebu. Alat-alat seperti gunting, tang, kuas, timbangan, dan palu kecil, seluruhnya berkarat. Perajin emas tradisional ini bahkan sudah tak ingat kapan terakhir kali menerima pesanan.
Menempati rumah di gang kecil, kakek 70 tahun itu adalah satu-satunya perajin emas yang tersisa di Kelurahan Kemasan, Kota Kediri. Puluhan rekannya sudah lebih dulu menyerah, meninggalkan pekerjaan mengolah emas. Sebagian dari mereka pindah domisili, tapi banyak yang sudah meninggal tanpa ada keluarga yang meneruskan keahlian itu.
“Dulu perajin emas memang banyak dan tersebar di kawasan Kemasan,” kata Min Erfan, Rabu, 28 Agustus 2024.
Min mengawali karirnya pada tahun 1966. Ilmu mengolah logam mulia itu dipelajari dari tempat kelahirannya di Rembang, Jawa Tengah. Bersama saudaranya, dia memutuskan pindah ke Kediri karena pasar emas di Kemasan lebih ramai dari pada Rembang.
Menurutnya, tahun 1960an hingga menjelang 2000 adalah masa kejayaan perajin emas di Kemasan. Di era tersebut, mereka tak pernah sepi orderan. Mulai dari pejabat hingga konglomerat, selalu memesan perhiasan di Kemasan. Pelanggannya tersebar mulai dari Kediri, Tulungagung, Blitar, hingga Surabaya.
Situasi mulai berubah ketika toko-toko perhiasan mulai berdiri. Para pengusaha emas memiliki industri pengolahan yang lebih modern untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sehingga, perajin yang menggunakan teknik manual mulai ditinggalkan. Dua belas orang karyawannya juga beralih pekerjaan, karena bekerja sebagai perajin dianggap sudah tidak menguntungkan.
Min kini bertahan hidup dengan memulung botol bekas dari Hotel Grand Surya, Jalan Dhoho Kota Kediri. Sehari-hari, botol-botol itu ditumpuk di ruang kerjanya, bersanding dengan perkakas mengolah emas.
“Sudah lama saya tidak menerima pesanan, terakhir kali mungkin setahun atau dua tahun lalu,” kata Min.
Meski sudah di usia senja, Min tidak kehilangan kemampuan mengolah emas. Dia bahkan masih hafal bagaimana menakar nilai karat atau satuan emas untuk perhiasan seperti kalung, gelang, cincin, dan anting.
Min tidak mengetahui sejak kapan Kemasan menjadi pusat pengolahan emas. Sebelum dia datang pada 1966, daerah ini sudah bernama Kemasan. Besar kemungkinan aktivitas pengerjaan emas sudah berlangsung sejak era sebelum kemerdekaan.
Menurut kajian toponimi atau asal-usul penamaan daerah, kawasan ini bisa jadi disebut sebagai Kemasan karena saat itu banyak perajin emas. Di dekat Kemasan, terdapat wilayah yang juga identik dengan nama pekerjaan. Antara lain, Jagalan yaitu tempat pemotongan hewan, kemudian Pandean yang terindikasi menjadi lokasi para pandai besi.
“Kemasan sebagai pusat kerajinan emas diperkirakan sudah ada sejak abad ke-11,” kata Sigit Widiatmoko, Dosen Sejarah Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri.
Saat itu, peran komunitas perajin emas menjadi bagian penting pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Hal itu dikuatkan dalam prasasti kuno yang sering menyebutkan juru gosali atau pengrajin logam. Di Kediri juga pernah ditemukan emas ukiran dengan berat 1,2 Kilogram dari zaman raja Airlangga.
Menurut Sigit, pengolahan emas dilakukan turun temurun, hingga menjadi kebudayaan yang mempengaruhi sistem tata kota. Penamaan Kemasan lahir dari kosmologi sosial di masyarakat, yaitu tempat tinggal perajin emas. Wilayah dengan imbuhan –an ini mulai banyak bermunculan pada era kesultanan atau Mataram Islam.
Meski kini hanya tersisa satu perajin saja, Kemasan tak kehilangan kilau emas. Kawasan itu masih identik sebagai pusat jual-beli emas. Baik itu dari toko-toko maupun lapak pengepul di sepanjang trotoar Jalan Sriwijaya, Jalan Patiunus, dan Jalan Joyoboyo di Kelurahan Kemasan. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post