MELIHAT fotonya tiba-tiba muncul di surat kabar, Ramona berniat menuntut Ramadhan, seorang wartawan foto. Terlibat dalam pertikaian, keduanya justru jatuh cinta dan menikah, meski tak lama kemudian bercerai. Kisah getir asmara yang dibumbui komedi itu menjadi benang merah cerita di film Kejarlah Daku Kau Kutangkap.
Sinema karya sutradara Chaerul Umam ini diangkat dari skenario garapan Asrul Sani yang awalnya berjudul Maka Tuhan Menciptakan Perempuan. Sejak kemunculannya di tahun 1986, film ini menuai banyak pujian sebagai penggebrak genre komedi. Kejarlah Daku Kau Kutangkap meraih penghargaan Skenario Terbaik, Film Komedi Terbaik, dan Piala Antemas pada ajang Festival Film Indonesia. Film berdurasi 109 menit ini ditonton 166.724 penonton di Jakarta, membuatnya terdaftar sebagai film terlaris kelima sepanjang tahun 1986.
Berbagai penghargaan itu salah satunya diraih berkat kecakapan Asrul Sani ketika menggambarkan manis-pahit sebuah perkawinan lewat dialog-dialog yang menohok dan menyentil. Meskipun diproduksi 36 tahun lalu, esensi ceritanya yang amat universal, sehingga masih bisa dinikmati hingga sekarang.
Dalam kancah sastra Indonesia, Asrul Sani memang dikenal sebagai salah satu penulis naskah film paling berbobot. Nama sastrawan Angkatan ’45 itu mulai melambung setelah menerbitkan buku kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin.
Untuk mengenang Asrul Sani yang berpulang pada 11 Januari 2004, sekumpulan aktivis literasi di Tulungagung menggelar nobar film Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Bertajuk SERANGAN LAYAR #3, agenda ini adalah bentuk penghormatan kepada sang maestro. Acara apresiasi karya Asrul Sani ini berlangsung pada Selasa, 11 Januari 2022, di Kakofoni Coffee, Jalan Pahlawan, Gang 3 No.7, Kampung Gayatri, Ketanon, Kabupaten Tulungagung.
“Acara apresiasi ini digelar agar kita yang hidup di masa kini mengingat karya-karya Asrul Sani yang abadi,” kata Iwan, salah seorang inisiator acara.
Pria yang akrab disapa Iwan Tualang Buku itu menambahkan, upaya mengenang karya Asrul Sani tidak hanya melalui film. Sebuah diskusi buku berjudul Catatan dari Bawah Tanah, karya sastrawan besar Rusia, Fyodor Dostoyevski, juga digelar sebagai apresiasi pada Asrul Sani.
Selain dikenal sebagai seorang sastrawan, sutradara, dan penulis skenario film ternama negeri ini, Asrul Sani adalah juga seorang penerjemah yang handal. Buku Catatan dari Bawah Tanah diterjemahkan Asrul Sani pada tahun 1979. Karya sastra ini mengungkap sisi kejiwaan manusia dengan menampilkan tokoh seorang pemuda yang amat peka ketika merasakan penolakan orang-orang di sekitarnya. Catatan dari Bawah Tanah adalah sebuah novela tahun 1864 yang sering disebut-sebut sebagai salah satu novel eksistensialis pertama.
“Mungkin wacana yang kami gaungkan bisa dibilang sudah usang, tapi semoga bisa menggairahkan budaya berdiskusi di Tulungagung,” kata lelaki bernama lengkap Iwan Kurniawan itu.
Sebelum akhirnya singgah di Tulungagung, Iwan—pegiat literasi asal Bandung—sudah berpetualang di sejumlah kota di Jawa Tengah, Jogja, dan beberapa kota Jawa Timur. Dia dijuluki Tualang Buku, karena kegemarannya berpetualang sambil melakukan penguatan literasi lewat buku.
Diskusi sinema ini sudah memasuki edisi ketiga yang digelar di Kakofoni. Selain sebagai cafe, rumah sederhana itu juga diberdayakan sebagai ruang alternatif. Misalnya sebagai perpustakaan, titik temu berbagai komunitas, rumah singgah, tadarus buku, bedah film, diskusi, dan lokakarya, sambil coba menggerakkan roda ekonomi kreatif berbasis komunitas. (Ahmad Eko Hadi)
Discussion about this post