SAMA seperti pers umum, pers mahasiswa (persma) perlu mendapatkan perlindungan hukum. Di era digital, tantangan yang dihadapi persma semakin kompleks. Suara kritis mereka kerap dibungkam demi nama baik institusi, bahkan jadi korban tindakan represif aparat.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nany Afrida mengatakan, status hukum persma harus diperjelas. Pemerintah semestinya mengakui lembaga pers mahasiswa (LPM) sebagai bagian dari ekosistem pers nasional yang dilindungi UU Pers.
“Kita jarang sekali membicarakan tentang teman-teman pers mahasiswa. Bahkan, di indeks kebebasan pers dikeluarkan Dewan Pers juga jarang,” ujar Nany pada Seminar Memperkuat Perlindungan terhadap Pers Mahasiswa di Era Digital, Minggu 4 Mei 2025.
Kegiatan yang bertempat di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri ini digelar AJI Indonesia berkolaborasi dengan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Forum Alumni Aktivis Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI). Didukung oleh UNESCO, pada acara ini juga dibahas para pegiat persma yang rentan mengalami serangan digital.
Nany melanjutkan, di lingkungan perguruan tinggi, persma berperan menyebarkan konten tentang isu-isu kampus hingga masyarakat luas. AJI menilai peran ini menjadikan mereka sebagai aktor dalam memerangi disinformasi dan meningkatkan kesadaran literasi media di kalangan mahasiswa.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menjelaskan, persma merupakan bagian penting dari keberlanjutan jurnalisme berkualitas. Banyak alumni persma yang berkarir sebagai jurnalis profesional di berbagai platform media.
”Pers kampus menjaga keberlanjutan kemerdekaan pers dan integritas pemberitaan,” ujar Ninik.
Salah satu upaya memperkuat perlindungan persma yaitu kerjasama antara Dewan Pers dengan berbagai lembaga pemerintahan. Misalnya dengan Dirjen Dikti, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Perwakilan UNESCO, Ana Lomtadze mengatakan, pers mahasiswa memainkan peran yang sangat penting di universitas. Selain kekerasan yang dihadapi di lapangan, mereka juga dihadapkan pada pengaruh kecerdasan buatan terhadap kebebasan berekspresi. Sehingga mereka harus dibekali literasi media agar menghasilkan jurnalisme profesional independen yang melayani publik.
“Cara kita memandang literasi adalah bahwa literasi membantu membekali kemampuan untuk berpikir kritis, memverifikasi fakta, mengenali informasi ini dan secara keseluruhan membantu menavigasi platform digital, dengan lebih aman dan kritis,” jelasnya.
Selain membekali mereka dengan literasi secara digital, Ana memastikan UNESCO dan AJI juga akan tetap menegakkan jurnalisme dan etika pada teman-teman pers mahasiswa. Inisiatif ini juga penting dalam meningkatkan keamanan digital Anda dan membantu agar tetap aman sambil menegakkan jurnalisme dan etika. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post