SEBAGAI sumber kehidupan, air adalah unsur tak terpisahkan dari segala aktivitas manusia. Mulai dari kegiatan pribadi, rumah tangga, pertanian, bahkan industri, semuanya bersandar pada air. Di balik fungsinya secara materi, air juga berkelindan di dalam makna-makna spiritual: penghubung antara manusia dengan Sang Pencipta.
Di kawasan Kediri, Jawa Timur, keberadaan sumber mata air ini telah melekat dengan kehidupan masyarakat. Puluhan titik mata air yang bermunculan di tiap kelurahan atau desa, menjadi bagian dari keseharian warga Kediri. Beberapa di antaranya kini dipercantik menjadi tempat wisata, tapi ada pula yang masih dianggap keramat dan tidak boleh dijamah sembarangan.
Menariknya, keberadaan sendang-sendang di wilayah yang terbelah arus Sungai Brantas ini mempunyai kaitan dengan Pondok Pesantren. Entah kebetulan atau disengaja, sejumlah ponpes salaf di Kediri didirikan di dekat lokasi mata air. Di antaranya, Pondok Pesantren Lirboyo, Ponpes Al-Ishlah Dlopo, Ponpes Kapurejo Pagu, Ponpes Darunnaja Gedang Sewu, dan Ponpes Al Amin.
“Sumber mata air di sini usianya jauh lebih tua dari Pondok Pesantren,” kata Mohammad Wildan Abrori salah seorang pengurus pondok pesantren Al Amin, Minggu 4 Oktober 2020.
Menurut Wildan, sebelum area di sekitar pesantren dikelilingi gedung dan kamar santri, tanah seluas 1 hektar di Kelurahan Rejomulyo Kota Kediri dulunya adalah rawa. Pada tahun 1995, KH M. Anwar Iskandar berinisiatif mendirikan pondok pesantren di daerah itu untuk menghilangkan kesan mistis yang kuat.
Pria asal Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri itu menambahkan, keberadaan sumber mata air kini menjadi andalan bagi berbagai keperluan Pondok. Salah satunya, membersihkan badan maupun pakaian agar terhindar dari kotoran atau najis ketika ngaji. Selain urusan ibadah, air yang terus mengalir dimanfaatkan untuk memelihara ikan.
Kawasan pesantren lainnya yang juga identik dengan sumber air yaitu Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu. Pada tahun 2013, ponpes yang didirikan KH Hasan Muchyi ini pernah menjadi lokasi syuting film Sang Kyai. Sama halnya seperti Ponpes Al Amin, mata air di Pondok Kapu digunakan para santri untuk mencuci dan mandi.
“Sumber ini ditemukan oleh Kiai Muhammad Yassir,” ujar Muhammad Chamdani Bik, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo.
Ulama yang akrab disapa Gus Bik ini menambahkan, Kiai Yasir adalah kakak ipar dan teman belajar KH Hasyim Asy’ari ketika sama-sama nyantri di tempat Syekh Kholil Bangkalan, Madura. Sebelum berupa sumber air seperti saat ini, area belakang ponpes dulunya sungai yang menjadi aliran lahar Gunung Kelud.
Ketika Gunung Kelud meletus, kawasan ponpes diselimuti pasir sehingga mirip seperti gurun pasir. Ketebalan pasir itu membuat tanah tidak bisa ditanami. Selama hampir satu bulan Kiai Yassir mengambil pasir keperluan membangun gedung pesantren dan mendirikan rumah.
Siapa sangka, saat pasir diambil, dari bawah tanah keluar air atau dalam istilah Jawa disebut nyumber. Debit air bervolume besar yang tiba-tiba menyembur ke permukaan itu kemudian dibendung.
“Sejak peristiwa itu, sumber airnya belum pernah sekalipun mengering” kata Gus Bik.
Seiring waktu, sumber air mengalami beberapa renovasi. Di sekelilingnya dibangun tembok agar kejernihan air terus terjaga. Jika dilihat sepintas, sumber air itu menyerupai kolam renang.
Selain Ponpes Kapu dan Ponpes Al Amin, masih ada sejumlah pesantren lainnya yang secara lokasi berdekatan dengan sumber air. Masing-masing ponpes tersebut di baliknya tentu memiliki kisah berbeda-beda, entah cerita dari segi sejarah, tokoh, maupun beragam kearifan lokal. (Thareeq Abdul Aziz, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post