DUA orang dengan balutan kain hitam dan bertopeng kepala banteng, bergerak mengikuti irama musik yang ritmik. Pemain di depan mengayunkan tanduk ke segala arah dan sesekali disertai serudukan. Sedangkan yang di belakang bertugas menyelaraskan gerak dengan langkah kaki seperti menari.
Seni pertunjukan yang sepintas mirip barongsai ini populer disebut bantengan. Para pegiat kesenian tradisional ini kebanyakan adalah masyarakat yang tinggal di kawasan pegunungan di Jawa timur. Paguyuban bantengan yang hingga kini masih aktif salah satunya berada di lereng Gunung Kelud. Tepatnya di Desa Damarwulan, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri.
“Tanduk yang digunakan diambil dari banteng asli, tapi ada juga yang memakai tanduk kerbau,” kata Ruri Wahyudik, pimpinan kesenian Bantengan Putra Nusantara, Jumat, 02 Oktober 2020.
Lelaki yang akrab disapa Om Yudik itu mengatakan, kesenian bantengan diyakini telah ada sejak zaman kerajaan Singosari. Anggapan tersebut didasarkan pada relief di Candi Jago, Tumpang, Kabupaten Malang.
Di candi tersebut ditemukan dua relief, yang pertama menggambarkan sebuah pertunjukan banteng melawan macan. Sementara yang lain menggambarkan adanya tarian menggunakan topeng berkepala banteng.
“Mengacu pada sejarah, kesenian ini konon memang berasal dari daerah Batu atau Malang,” ujar Om Yudik.
Seiring waktu, pagelaran seni tradisional ini mengalami sejumlah perubahan. Salah satu yang cukup revolusioner yaitu pada masa perjuangan kemerdekaan. Kala itu, sekelompok pemuda dari Batu yang pulang nyantri di Jombang, kembali ke kampung halaman dan mendirikan padepokan Pencak Silat. Untuk mengajak para pemuda lainnya mempelajari ilmu Pencak Silat, maka kesenian Bantengan dimodifikasi dengan gerakan bela diri.
Paguyuban yang dipimpin Om Yudik ternyata mengusung misi yang sama. Didirikan pada tahun 2004, Bantengan dikenalkan ke masyarakat agar para pemuda tertarik dengan Pencak silat. Yudik merintis kesenian ini bersama guru silatnya bernama Mbah Manan. Dulu kelompok ini bernama Bantengan Watu Kebal, karena pemainnya kebanyakan adalah para pencari batu di Sungai Konto.
Yudik menambahkan, proses adopsi dari gerakan pencak silat itu disebut kembangan. Gerakan tersebut berupa kuda-kuda, kelenturan, dan keterampilan yang berguna untuk efektivitas serangan. Misalnya tangkisan, elakan, tangkapan, yang disertai dengan kemampuan gerak tipu.
Dalam gelaran bantengan terdapat adegan pertarungan Banteng melawan Macan. Keduanya digambarkan sebagai musuh bebuyutan yang ketika bertemu langsung saling menyerang.
Banteng mengejar macan dan langsung menyerang dengan serudukan. Akan tetapi macan berhasil meloncat menghindar dan menangkap tanduk Banteng. Adegan pertempuran itu ditutup dengan kemenangan banteng yang marah kemudian melemparkan Macan.
“Banteng yang mewakili simbol kebaikan selalu menang dalam pertarungan melawan macan yang disimbolkan sebgai bentuk keangkaramurkaan,” kata Tholabi, sesepuh kesenian Bantengan Desa Damarwulan.
Dia mengatakan, pertunjukan kesenian ini selalu dilengkapi dengan alunan musik dan syair. Setiap paguyuban biasanya melantunkan syair berbeda-beda. Ada yang memakai bahasa Jawa, ada pula yang memakai bahasa Arab. Sedangkan alunan musik dihasilkan dari paduan alat seperti jidor, gendang, dan gamelan.
Hal menarik yang tak dapat dipisahkan dari pagelaran ini yaitu adanya orang kesurupan. Dalam istilah Jawa disebut Ndadi.
Dalam kesenian ini Ndadi dapat diartikan sebagai hilangnya kesadaran. Biasanya ditandai dengan perubahan identitas menjadi kepribadian baru akibat kerasukan roh halus. Di tengah pertunjukan, pemain akan mengalami kerasukanketika mereka menjiwai peran banteng dan macan.
“Ndadi tidak hanya dialami pemain saja, kadang penonton juga bisa kesurupan,” kata Tholabi.
Menurutnya, saat ini Kesenian Tradisional Bantengan sudah berkembang di berbagai wilayah. Selain di Kediri, kesenian ini juga masih dapat ditemui di Kabupaten Mojokerto, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Pasuruan.
Dari segi kearifan lokal, seni pertunjukan ini memuat unsur komunal karena melibatkan banyak orang. Keberadaan kesenian bantengan mewakili kehidupan masyarakat yang bergerak dalam keguyuban dan gotong royong. Seperti halnya sifat banteng yang selalu membentuk kelompok atau berkoloni. (Ahmad Rafi, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post