DI tikungan jalan tak jauh dari pemakaman umum Kelurahan Banaran, Kecamatan Pesantren, Kediri, klinik herbal Padepokan Wahyu Alam Sejati ini diselimuti sunyi pada Kamis, 30 Juli 2015. Pelataran padepokan dikepung ratusan tanaman yang tertata di tepian.
Artefak bebatuan kuno disulap menjadi meja dan kursi. Ketika kediripedia.com berkunjung, tak ada orang di dalam ruangan padepokan ini. Aktifitas justru berlangsung di ruang belakang klinik. Dua orang pria tengah meracik obat dari alam. Seorang menumbuk tanaman, seorang lainnya memasak dengan tungku kayu bakar lalu mengemas racikan obat.
Tak lama, suara motor matic terdengar. Yuwono, si empunya padepokan tiba. “Rumah saya dekat sini,” ungkap pria yang akrab dipanggil Pak Wahyu ini, ketika kami memulai perbincangan di ruangan kliniknya. Ruang klinik yang dindingnya terbuat dari bambu ini digunakan Wahyu menerima pasien. Dua kotak besar berisikan racikan obat terdapat di dua sisi ruangan.
Di dinding, terdapat wayang yang difigura dan sejumlah sketsa struktur tubuh manusia. Khas ruangan seorang tabib. “Inspirasi padepokan ini bermula dari aktifitas saya sebagai pecinta alam yang keluar masuk hutan. Saya mulai mengenali banyak tanaman. Dari hutan, saya juga menemukan batu-batu itu, ” ujar Wahyu, sembari menunjuk artefak batu kuno yang menjadi meja kursi di halaman rumahnya.
Dia mulai belajar tanaman obat pada tahun 1995 ketika tergabung dalam komunitas putra alam. Mulanya, Wahyu menjajal ilmu pada orang-orang sekitar. Para tetangga dan teman-teman yang sakit dibuatkan ramuan obat dari tanaman. Hasilnya, berbagai penyakit terutama yang sudah sulit ditangani secara medis bisa disembuhkan dengan berbagai ramuan obat buatannya.
Maka, sejak tahun 2000, Wahyu memberanikan diri membuka klinik herbal. Dia memperbanyak referensi pembelajaran dari resep-resep kuno dan pengalaman empiris para pengguna tanaman sebagai obat. “Ada beberapa literatur kuno yang memang menjadi acuan saya. Contohnya adalah literaturnya Tan Khoen Swie, ‘Masalah Resep Jampi Jawi’ yang tercetak tahun 1922. Itu resep kuno yang bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Selama 20 tahun, Wahyu telah mengumpulkan 200 jenis tanaman obat yang ditanam di sekeliling padepokan. Terdapat tanaman obat yang sudah jarang dijumpai; seperti Sambiloto, Jati Belanda, Kayu Lanang, Kumis Kucing, hingga Ketela Gendruwo.
Tanaman obat terdiri dari daun-daunan dan rempah-rempah ini langsung diracik sedemikian rupa. Mulai dari proses penumbukan untuk diambil sarinya, kemudian dicampur gula. Setelah itu dijadikan serbuk obat herbal.

Proses pembuatan obat ini bisa disaksikan oleh pasien. Hal ini untuk meyakinkan bahwa bahan yang digunakan benar-benar dari tanaman dan tak ada campuran bahan kimia. “Saya membuat obat berbentuk kapsul untuk memudahkan pasien mengonsumsi karena racikannya sangat pahit,” katanya.
Pasien yang datang ke tempat Yuwono sebagian besar pasien dengan sakit yang parah. Mereka mencari alternatif pengobatan menggunakan tumbuh-tumbuhan, karena gagal berobat secara medis.
Seperti Tugiyati yang mencarikan obat untuk suaminya. “Suami saya sakit infeksi saluran kencing sama kencing batu.Baru pulang dari rumah sakit satu minggu. Dikasih tahu tetangga, katanya sudah ke sini dan sembuh,” kata wanita asal Wates ini.
Obat yang diberikan oleh Yuwono tak hanya berupa kapsul dan serbuk. Pada penyakit tertentu, dia juga memberikan daun-daunan segar yang harus dimasak sendiri oleh pasiennya. Harga racikan obat plastik besar dan tanaman obat ini relatif terjangkau. Berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
Meski reaksinya lebih lambat, obat dari herbal tanpa efek samping. Obat tanaman ini juga bisa memperbaiki keseluruhan sistem tubuh dan efektif mengobati penyakit kronis yang tak bisa disembuhkan dengan obat kimia. (Danu Sukendro)
Nomer HP Yuwono (Wahyu) : 081 216 669 727