Pengantar Redaksi:
Perjalanan panjang Kediri melahirkan banyak hal yang kelak mengawali keberlangsungan sejarah berikutnya. Seperti arus sungai yang susul-menyusul, sejarah Kediri bergerak dalam lapisan-lapisan tebal, panjang, kerap tak saling berhubungan. Salah satu noktah yang turut mewarnai peradaban yang beragam itu adalah sosok Tan Khoen Swie, lelaki Cina yang turut memahatkan keniscayaan berubahnya tradisi lesan ke dalam tradisi tulis. Bagaimana sepak terjang Tan di semak-belukar sejarah Kediri, Dwidjo U. Maksummelakukan penelusuran yang kemudian diracik secara bersambung untuk para pembaca kediripedia.comdi manapun berada.
Menurut Kusharsono, kecenderungan visi perlawanan Tan Khoen Swie merupakan dampak dari pergaulannya dengan sejumlah intelektual di masa menggeloranya pergerakan nasional. Hal itu memunculkan semangat antikolonialisme. Militansi Tan Khoen Swie dalam menentang penjajahan terlihat dari buku “Tjinta Kebaktian pada Tanah Air”, terbitan tahun 1941. Demikian pula dalam beberapa buku lain, seperti “Bhagawad Gita”, “Dewa Rutji”, dan “Bima Boengkoes”. Ketiga buku tersebut berkisah tentang cinta pada kebenaran dan tanah air.
Pada tahun 1935, sebuah majalah bulanan terbit di kota Kediri. Sebagian besar isinya memuat faham kebatinan Tionghoa. Majalah itu berbahasa Melayu dan isinya banyak mengupas tentang ajaran Tao, Khong Hu Cu, dan Buddha. Di media itu Tan Khoen Swie menjabat sebagai Pemimpin Redaksi, sekaligus redaktur dan penulis.

Di masa Presiden Soeharto, sekitar tahun 1982, ada dua buku terbit boekhandel Tan Khoen Swie dilarang beredar. Judul buku itu Gatolotjo dan Darmogandoel. Oleh pemerintah saat itu, buku Gatolotjo dianggap melecehkan agama. Padahal buku yang tebalnya tidak lebih dari 100 halaman itu hanya berisi tembang-tembang Jawa sebanyak 12 macam. Mulai Dandanggulo, Midjil, Kinanthi, Gambuh, Sinom, Pangkur dan Asmaradana.
“Kalau mau dipelajari betul, isi Gatolotjo tidak lebih dari sebuah kritikan yang dibahasakan lebih halus.,” kata Kusharsono.
Menurut Kusharsono, kelompok Tan Khoen Swie termasuk yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Sehingga muncul gerakan-gerakan seperti menerbitkan Gatolotjo karangan RM Suwandi,Surakarta. Pada sampul depan buku itu tertulis : “Gatolotjo. Anjariosaken Bantahipun Gatolotjo Tanding Kalijan Dewi Perdjiwati, Dados Lambang Pamoring Djalu Wanito, Tuwin Dumadosipun Widjining Menuso.”
Buku asli yang masih menggunakan huruf jawa itu, dengan halaman sebanyak 145 halaman tersebut dijual dengan harga 1,75 gulden. Kini buku asli itu masih tersimpan di loteng.(Dwidjo U. Maksum) bersambung ~~~
Tulisan selanjutnya: BUKU-BUKU TERBITAN TAN KHOEN SWIE (Tulisan V)