HUJAN mendadak muncul dari sekadar rintik menjadi deras pada Rabu petang, 23 Maret 2022. Sekumpulan anak muda meriung di Roia Coffee, Jalan Ngasinan No. 52, Rejomulyo, Kota Kediri. Mereka tengah menyiapkan launching album Riant Daffa, solois balada asal Kediri.
Berbekal gitar dan harmonika, Riant Dafffa telah malang melintang di berbagai pentas musik di sejumlah kota di Jawa. Mahasiswa Jurusan Budidaya Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang itu juga sering terlibat dalam dunia pertanian hingga gerakan agraria. Sebelumnya dia telah merilis satu album berjudul Janggal pada tahun 2020.
Malam itu adalah perayaan rilis album kedua Riant Daffa bertajuk Pertanian Hari Ini. Dipandu MC GaleMoon, beberapa penampil sudah disiapkan sebelum nantinya dipungkasi Riant Daffa sendiri. Dimulai dari Heni Swastantri yang muncul bertopi caping dengan gerak tari gemulai berkisah tentang panen raya di sebuah daerah di pulau Jawa. Disambung berikutnya ada Edwin, mahasiswa asal Madiun yang tampil solo menyanyikan 2 lagu ciptaannya. Setelah itu panggung digantikan oleh Berdiskusi dengan formasi duo yang coba mendendangkan 4 nomor folk ciptaan sendiri. Baru kemudian dipanggillah Faried Punktomime yang seperti biasa menyuguhkan gerakan tanpa suara namun sarat pesan dan makna, khas seni pantomim.
Tak hanya dari Kediri, Ranting yang datang jauh-jauh dari Surabaya ikut membuat semarak suasana dengan genjrengan irama folk-nya yang terbukti mampu mencuri perhatian penonton. Tapi sebelum itu ada Gayung Bersambut yang berombongan hadir dari Pare turut serta pula memeriahkan acara dengan sumbangan 3 lagu yang berkisah tentang kehidupan desa, cuaca, dan anak-anak, ditutup dengan kolaborasi apik musik dan puisi yang disuarakan Ferry dari Perjal Pare.
Malam pun semakin semarak namun antusiasme penonton tak juga surut. Hingga yang ditunggu-tunggu akhirnya berdiri di atas panggung. Riant Daffa, sang punya hajat, tetap setia bertopi pet berikut gitar kesayangan. Dengan tampang sumringah ia ladeni berbagai celetukan hadirin yang berlesatan, ditanggapinya dengan bercanda, tak ketinggalan beberapa kali ucapan terimakasih mengalir dari mulutnya.
Mars War Wer Wor sangat tepat dilemparkan sebagai nomor pembuka. Lagu yang memang pas untuk dinyanyikan bersama ini langsung menciptakan suasana riuh dengan hadirin yang hafal liriknya. Meski tak termasuk dalam album Pertanian Hari Ini, namun ini strategi jitu menghidupkan sekaligus menghangatkan suasana tepi sawah yang mulai dingin. Setelah itu barulah berturut-turut lagu-lagu dari album yang dirilis dilantunkan satu persatu, sambil tak lupa Riant Daffa menuturkan latar belakang atau cerita di balik lagu-lagunya tersebut.
Seperti Petani Pahlawan Pangan Negeri yang menceritakan kehidupan petani di desa, Tangis Petani_ yang terinspirasi dari berita getir tentang sepasang petani yang mati bunuh diri karena menenggak racun tanaman, hingga Ladang Hutang yang mengisahkan kesusahan petani yang terlilit hutang. Atau Hijau Kini Hilang Entah Kemana yang sebelumnya kerap pula dibawakan dari panggung ke panggung sekaligus jadi lagu pamungkas, menceritakan kampung halamannya yang terdampak oleh pembangunan bandara yang menghilangkan beberapa hektar lahan pertanian dan keguyuban desa yang asri.
Tema besar album Pertanian Hari Ini yang dikemas dalam 13 track komposisi balada. Dengan dinamika tempo dan ritme yang beragam, ini semacam rangkuman cerita-cerita tentang para penanam alias para petani dengan segala problema di dalamnya. Mulai kehidupan petani yang bekerja dari pagi hingga istirahat di malam hari, harapan, hingga obituari atau berita kematian sepasang petani yang putus asa karena permasalahan ladangnya.
“Untuk penjelasan album selengkapnya bisa dibaca di buku Pertanian Hari Ini yang juga dirilis bersamaan dengan CD albumnya,” kata pemuda berkacamata ini menerangkan sekalian promosi.
Selain CD album ia pun mengemas Pertanian Hari Ini dalam bentuk buku, kaos, totebag, dengan bonus stiker. Dengan begitu pembeli punya banyak pilihan sebagai bentuk dukungan.
Apa yang tersaji malam itu bisa dibilang angin segar bagi skena musik, khususnya di kota Kediri. Musik folk yang belakangan diidentikkan dengan senja dan romantisme masa muda dikembalikan khittahnya sebagai media penyampai kegelisahan kaum kecil yang terpinggirkan, yang didera kesusahan, terdesak oleh kemajuan dan pembangunan.
Ini juga bukti bahwa masih ada anak muda yang peka dan mampu menangkap isu sosial di sekitarnya. Isu tersebut diolah menjadi komposisi nada dan irama agar pesan-pesan baik tersampaikan luas untuk dinikmati dan direnungkan. (Iwan Tualang, Pegiat Literasi yang kini berdomisili di Tulungagung)
Discussion about this post