MEMASUKI tahun 2022, Lembaga Sensor Film (LSF) berupaya lebih dekat dengan masyarakat demi membangkitkan perfilman Indonesia. Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto mengajak masyarakat mulai mencanangkan budaya sensor mandiri. Pada era digital tantangan yang muncul tidak lagi hanya soal sensor film, tetapi juga literasi menonton.
Sensor mandiri dalam film adalah perilaku sadar untuk memilah dan memilih film yang akan ditonton. Film memiliki klasifikasi usia yakni seluruh umur, anak, remaja, dan dewasa. Masyarakat harus mematuhi klasifikasi usia, meski tidak ada sanksi hukum bila terjadi pelangggaran. Budaya sensor mandiri menjadi salah satu poin utama dalam Laporan Kinerja LSF Tahun 2021.
“LSF memandang penting adanya sensor mandiri, karena tontonan kini dapat diakses dengan bebas dan gratis,” kata Rommy, Selasa, 22 Maret 2022.
Masyarakat kini tidak hanya menonton melalui televisi, tetapi juga lewat internet. Sehingga, akar dari gerakan ini adalah peran penting lingkungan sosial seseorang, terutama anak. Sedangkan orang tua, keluarga, dan lingkungan sekitar berperan sebagai penyaring tontonan yang layak dikonsumsi berdasarkan usia.
Sejauh ini, LSF telah menggaungkan sensor mandiri agar menjadi kebudayaan masyarakat. Salah satunya melalui berbagai sosialiasi, baik itu secara daring ataupun secara langsung.
Program yang sudah digelar yaitu menyelenggarakan Fokus Grup Diskusi (FGD), juga penandatanganan Nota Kesepahaman dengan 42 lembaga dan perguruan tinggi. Baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta. Pada September hingga November 2021, LSF telah membentuk tiga Desa Sensor Mandiri, yaitu di Desa Tigaherang, Ciamis, Jawa Barat; Desa Manguharjo, Madiun, Jawa Timur; dan Desa Candirejo, Klaten, Jawa Tengah.
Dalam Laporan Kinerja LSF 2021 disebutkan, terdapat 40.640 judul materi sensor yang didaftarkan ke LSF pada 2021. Dari angka tersebut hanya dua judul yang tidak lulus lalu dikembalikan ke pembuat film. Jumlah materi sensor tahun 2021 lebih banyak dibanding 2020, yaitu 39.623 judul materi.
“Penyensoran film tidak mengekang kreativitas sineas karena ini merupakan amanat dari Undang-Undang Perfilman,” ujar Rommy.
Sepanjang tahun 2021, bioskop tidak dipantau karena tidak beroperasi karena pandemi. LSF lebih banyak melakukan pemantauan di televisi dan jaringan informatika. Dari kegiatan itu 2.602 tayangan tanpa melalui proses sensor, 2.793 film yang tidak mencantumkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS), dan 149 film dengan STLS kedaluwarsa. Rommy mengatakan, pihaknya tidak menjatuhkan sanksi atau hukuman bagi pihak yang melanggar. LSF memilih melakukan langkah edukatif, seperti sosialiasi dan pendekatan kultural agar pembuat film patuh dengan peraturan. (Ahmad Eko Hadi)
Discussion about this post