BERADA di tengah kawasan Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur, rumah itu bukan kantor lembaga kursus bahasa asing seperti rumah lainnya. Mulai dari ruang tamu hingga ruang keluarga, diwarnai peralatan dan potongan kulit sapi beraneka warna yang telah diolah. Dompet, tas, hand bag, sabuk, tempat korek api, dan berbagai aksesoris berbahan kulit, ditata di tempat display dekat pintu masuk.
Di rumah itu, tiga lelaki bersaudara, menambatkan gagasan dan berkarya bersama. Mereka menekuni usaha kerajinan kulit dengan merek Sapindelick. Nama itu merujuk pada bahan kulit sapi yang digunakan. Bukan kulit buaya, ular, macan, atau beruang.
“Pada tahun 2014, saya dan dua saudara lelaki saya memutuskan pulang kampung untuk merintis kerajinan kulit,” kata Toni Kristianto, Jum’at, 1 Desember 2017 di Pare.
Menurut lelaki berusia 33 tahun itu, sebelum pulang kampung, mereka bertiga telah memiliki pekerjaan masing-masing. Toni bekerja di Indomobil Kandangan, sedangkan Heri Susanto, sang kakak yang berusia 37 tahun, bekerja sebagai disainer grafis di grup media Jawa Pos, Surabaya. Sementara, Tomi Krisnawan, saudara kembar Toni, bekerja di Jakarta sebagai layouter Indopos.
Keberanian meninggalkan pekerjaan masing-masing didorong oleh sikap Heri Susanto. Lelaki yang populer dengan panggilan Heri Owel itu kerap menelepon kedua adiknya. Dia memberi keyakinan bahwa menyudahi aktifitas menjadi buruh di perusahaan orang, bukan langkah yang salah.
“Sedini mungkin kita belajar mandiri, pasti lebih berpeluang untuk sukses mewujudkan impian,” kata Heri.
Kerajinan kulit dipilih karena sejak lama Heri memiliki hobi merancang dan menciptakan benda-benda kerajinan kulit. Karyanya diminati rekan sekantor dan perlahan-lahan dikenal sejumlah kalangan. “Kami merasa memiliki kecocokan dan keyakinan untuk mengembangkan bersama-sama,” kata Tomi.
Pada tahun 2016, mereka mematenkan merek Sapindelick sebagai brand resmi yang dilindungi hukum. Sejak itu, produksi terus digenjot hingga menyebar ke pasar Amerika Serikat, Singapura, dan berbagai kota besar di Indonesia termasuk galeri-galeri di Bali.
Mengambil bahan baku kulit sapi kelas terbaik dari Malang dan Yogjakarta, semua produk dikerjakan secara manual dengan tangan atau dikenal dengan istilah hand made. Mulai dari proses penyamaan, pemotongan, penjahitan, pengeleman, hingga pewarnaan, dilakukan tanpa peralatan mesin.
Dengan penanganan yang hati-hati dan teliti, Sapindelick menggaransi produknya seumur hidup. Jika jahitan atau kulit rusak dalam pemakaian normal, bisa dikirim kembali untuk diperbaiki. “Karya kami sengaja dirancang bisa digunakan turun-temurun dan bisa diwariskan,” kata Toni.
Dengan jaminan mutu terbaik, harga barang buatan Sapindelick lumayan menguras kantong. Harga tas berada di kisaran Rp 1,2 juta – Rp 5 juta. Dompet, rata-rata Rp 500 ribu. Hand bag, Rp 750 ribu. Sabuk, Rp 450 ribu. Aneka aksesoris kulit berkisar antara Rp 150 ribu – Rp 600 ribu.
Pesanan khusus seperti jok mobil, tas kulit motor Harley Davidson dan Vespa juga mereka kerjakan. Harganya menyesuaikan bahan yang digunakan dengan standard internasional.
Selain memasarkan sendiri, mereka juga membuka peluang kerja sama dengan vendor. Siapapun bisa menjual produk Sapindelick dengan menggunakan brand masing-masing. Produk pesanan vendor tidak dicap Sapindelick karena akan dilabeli sendiri oleh pihak yang memasarkan.
“Pola pemasaran seperti ini saat ini sudah berjalan, salah satunya dengan orang Belanda yang bermukim di Bali. Dia memasarkan produk kami ke pasar Eropa dengan memakai merek dia,” kata Heri.
Saat ini ada sejumlah pemuda dari kalangan keluarga dekat turut membantu proses produksi. Rumah di Jalan Dahlia 99, Tulungrejo, Pare, Kediri menjadi pusat produksi yang tak pernah sepi. Setiap hari mereka berkarya dan terus mencari pola dan model baru, agar produk Sapindelick terus berbeda dan tetap menarik dari waktu ke waktu. (Dwidjo U. Maksum)