Suara melengking terdengar ketika seorang lelaki menyusuri jalanan. Dengan sepeda ontel, dia membonceng obrok, tempat menaruh perlengkapan adonan, ketel, bejana, dan kompos gas. Uap yang mengepul dari lubang bejana itulah yang menghasilkan lengkingan suara seperti seruling.
Setiap hari, suara itu terdengar menyusuri jalanan, mulai dari jalan raya hingga gang sempit di Kota Kediri. Bunyi nyaring mirip seruling atau peluit itu, adalah alat penarik minat pembeli seperti halnya bell yang digunakan pedagang es krim. Makruf, begitulah pedagang kue putu asal Brebes, Jawa Tengah itu biasa disapa. Lelaki berumur 68 tahun itu menjajakan kue dengan cara langsung memasak di tempat. Istilah kerennya barangkali fresh from the oven.
“Awal berjualan dulu, saya tidak langsung pakai sepeda pancal, tapi jalan kaki, obrok-nya saya pikul,” kata Makruf dengan logat Banyumasan, Selasa, 14 November 2017.
Ayah sepuluh anak itu menjajakan kue berbahan baku tepung beras sejak tahun 1980 tanpa pernah sekalipun berganti profesi. Sebelum akhirnya berdagang di Kediri, beberapa kota di Indonesia sudah pernah dia jelajahi untuk berdagang putu. Bandung, Sukabumi, Cianjur hingga kota-kota di luar Pulau Jawa seperti Makassar dan Palopo, Sulawesi Selatan; Lombok, Nusa Tenggara barat; dan Riau, adalah beberapa tempat yang pernah dia rantaui.
Memilih Kediri sebagai tempat berdagang bukan tanpa sebab. Semasa masih muda ia pernah belajar di Pondok Pesantren Lirboyo pada 1965. “Saya berjualan di Kediri sejak Gus Dur jadi presiden,” kata Makruf, saat melayani pembeli di kawasan Jalan Penanggungan, Kediri.
Meskipun berdagang di Kediri, istri Makruf dan anak-anaknya tetap tinggal di Brebes. Dua bulan sekali dia pulang untuk menengok anak istrinya. Tapi salah seorang putrinya ada yang pernah mondok di Lirboyo. Sayangnya, setelah lulus dan kembali ke Brebes, meninggal. Kini, dari sepuluh anaknya, hanya tiga orang yang masih hidup.
Makruf mulai berkeliling menjajakan putu sejak siang sampai isya. Pendapatan yang dia peroleh per hari rata-rata Rp 50 ribu. Jumlah itu cukup untuk menafkahi keluarga. Sebagian penghasilan disisihkan untuk membangun madrasah di Brebes.
Di Kediri, Makruf tinggal di kos-kosan kawasan Pasar Campurejo dekat Pondok Pesantren Lirboyo. Sendirian, tidak ada keluarga yang menemani. Jika tidak pulang ke Brebes, waktu liburnya dia gunakan untuk berkunjung ke Pasar Loak Kaliombo. “Itu hiburan yang saya gemari,” kata Makruf.
Ada satu harapan yang dia inginkan dan hingga kini belum tertunaikan, yaitu pergi ke tanah suci. Tiap kali melihat rombongan orang berangkat haji, dia menangis.
“Saya selalu memohon kepada Allah, agar cita-cita saya pergi haji, dikabulkan,” kata Makruf dengan mata berkaca-kaca. “Jika toh tetap tidak bisa pergi ke tanah suci hingga akhir hayat, saya tidak kecewa, yang penting masih bisa beribadah, bekerja, dan bermanfaat buat sesama.” (Kholisul Fatikhin)
Nomor telepon Pak Makruf: 081809556046