ISTILAH jengki berasal dari Bahasa Inggris “yankee”, yang berarti orang baru. Di era setelah kemerdekaan, kata itu digunakan orang Indonesia menyebut berbagai hal-hal berbau asing. Misalnya rumah jengki, celana jengki, dan sepeda jengki.
Uniknya, bila mendengar kata jengki, ingatan orang Indonesia selalu mengarah ke sepeda keluaran Cina. Di periode 1970an hingga menjelang tahun 2000, berbagai merek sepeda dari Negeri Tirai Bambu pernah mewarnai kehidupan masyarakat dari beragam lapisan. Saking populernya, apapun merek sepeda produksi Cina yang beredar seperti Phoenix, Flying Piqeon, Butterfly, dan Peacock; semuanya disebut jengki.
Dengan bentuk yang relatif pendek, sepeda jengki dianggap sesuai postur tubuh rata-rata orang Indonesia. Selain itu, mengendarai jengki lebih praktis dibandingkan menaiki sepeda onthel atau pit kebo. Harganya pun cenderung terjangkau atau ramah kantong. Tak ayal, sepeda yang juga dikenal sebagai sepeda kumbang itu menjadi primadona.
Seiring munculnya sepeda-sepeda keluaran modern, eksistensi sepeda jengki seketika meredup. Namun, bukan berarti sepenuhnya ditinggalkan dan sepi penggemar. Di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, terdapat komunitas yang setia merawat keberadaan kereta angin legendaris itu.
“Awalnya kami melihat maraknya komunitas sepeda, tapi jengki yang dulu hampir dimiliki setiap orang malah tidak ada,” kata Endra Rahmad Santoso, ketua Onthel Jengki Tulungagung (OJT), Jumat 26 Juni 2020.
Pria yang akrab disapa Mbah Darmo ini mengatakan, berdirinya komunitas berawal dari kegiatan gowes bareng tiap akhir pekan. Keakraban yang terjalin makin erat itu akhirnya mendorong Mbah Darmo dan ratusan para pecinta sepeda jengki lainnya meriung dalam satu payung bernama Onthel Jengki Tulungagung (OJT).
Komunitas ini bergerak dengan slogan “Ojo Sampek Jengkimu Ngangkrak” atau Jangan Sampai Sepeda Jengkimu Terbengkalai. Melalui slogan itu, OJT mengajak masyarakat di Tulungagung kembali mengingat dan merawat sepeda jengki yang barangkali penuh kenangan. Hingga sekarang, OJT sudah memiliki ratusan anggota dari berbagai wilayah di Tulungagung. Mereka juga rutin mengikuti berbagai event sepeda di beberapa daerah seperti Blitar, Trenggalek, dan Kediri.
“Selain OJT, masih ada komunitas jengki lainnya yang eksis di Tulungagung. Jika dihitung mungkin jumlahnya ribuan,” ujar Mbah Darmo.
Meskipun terkenal sebagai sepeda produksi Cina, konsep sepeda jengki sebenarnya berawal dari perusahaan Rover Bicycle di Inggris. Pada tahun 1911, Rover mengeluarkan 17 sepeda berjenis road bike.
Menariknya, mereka mengeluarkan 7 jenis sepeda khusus wanita di saat belum ada pembedaan gender dalam bersepeda. Dengan mengusung step through frame, model frame Lady’s Rover menggunakan top tube yang rendah atau melengkung ke bawah mengikuti down tube. Hal itu digunakan untuk memudahkan wanita yang memakai gaun maupun rok panjang. Meski begitu, dalam perkembangannya sepeda jengki juga dipakai laki-laki karena lincah saat dikendarai.
Konsep itulah yang menginspirasi perusahaan sepeda lainnya ramai-ramai memproduksi sepeda jengki, salah satunya Phoenix dari Cina. Peluang itu segera ditangkap dan mengakibatkan banjir sepeda jengki di Indonesia pada tahun 1970-an. Phoenix menjadi merek paling terkenal di Indonesia. Dengan harga yang jauh lebih murah dan pilihan yang sangat beragam, Cina bahkan berhasil menguasai pasar sepeda jengki di dunia.
Pada tahun 1980an, popularitas sepeda jengki mendorong para modifikator memunculkan swing bike atau sepeda goyang. Dengan menambah engsel di tengah frame atau rangka, jalannya sepeda sengaja dibuat tidak stabil; bisa menikung ke kanan dan ke kiri, mirip sepeda lipat yang belum terkunci. Biasanya, sepeda itu marak digunakan saat pertunjukkan akrobat. Bila orang yang mengendarainya tidak terlatih, bisa membuat pengendara kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Di era kendaraan bermotor dan maraknya sepeda-sepeda berteknologi mutakhir, sepeda jengki kini sangat jarang ditemui dan cenderung langka. Kalaupun ada, sekarang yang masih menggunakan kebanyakan adalah kalangan petani dan pedagang sayur keliling. Dengan munculnya sejumlah komunitas salah satunya di Tulungagung, itu menjadi penanda bahwa sepeda jengki terus dirawat dan belum punah. (M Yusuf Ashari)