PERLU ekstra hati-hati, jika sewaktu-waktu melewati jembatan yang terletak di gerbang utara pintu masuk Desa Kedawung, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar ini. Konstruksinya sengaja dibuat tanpa pagar pengaman di sisi kiri maupun kanan. Dengan panjang lebih dari 100 meter, titian itu menghubungkan dua tepi Kali Badak: sungai purba yang terbentuk ribuan tahun silam akibat derasnya aliran lahar Gunung Kelud.
Jalur lahar di Nglegok, Blitar ini hanya satu dari 19 kantong lahar yang mengelilingi area Gunung Kelud di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar. Lintasan yang terbuat dari material beton cor dikenal pula dengan sebutan pleret atau jembatan lahar.
Pleret merupakan bendungan penakluk ganasnya muntahan lahar dingin Gunung Kelud ketika erupsi. Meskipun lebih berperan sebagai sarana mitigasi bencana, jembatan lahar juga dimanfaatkan menjadi jalur transportasi.
“Ketika Kelud meletus pada 2014, warga Nglegok terhindar dari banjir karena aliran lahar dingin tidak meluap hingga ke Sungai Badak,” kata Kasmianto, salah seorang pengatur lalu lintas di Kali Lahar Nglegok, Rabu, 1 Juli 2020.
Menurut Kasmianto, saat Kelud erupsi enam tahun silam, Sungai Badak tetap kering dan tidak berubah dari kondisi biasanya. Berjarak sekitar 10 Kilometer dari pusat letusan, kawasan Kecamatan Nglegok, Blitar hanya terdampak hujan abu vulkanik dan batu kerikil saja.
Kondisi itu berbeda jika dibandingkan dengan letusan Sang Kampud pada tahun 1919. Seratus tahun lalu, lahar dingin menerjang wilayah sepanjang 38 kilometer dari titik erupsi. Dalam laporan Carl Wilhelm Wormser, pejabat Pengadilan kolonial Belanda di Tulungagung, dampak dari erupsi saat itu tergolong besar. Meskipun pada tahun 1905 di Kali Badak telah dibangun bendungan penahan lahar, amukan Kelud menyebabkan sedikitnya 5.160 korban jiwa dan merusak ribuan hektar lahan produktif.
Seiring dengan berkembangnya teknologi mitigasi bencana, di sekitar area gunung berapi di Indonesia kini dibangun konstruksi Sabo Dam. Berasal dari bahasa Jepang, kata Sa berarti pasir dan Bo artinya penanggulangan. Sesuai namanya, Sabo Dam berfungsi sebagai pengendali laju sedimen berupa tanah, pasir, dan batu yang dibawa aliran air.
Konstruksi jalur lahar Sabo Dam di kawasan kaki Gunung Kelud, salah satunya seperti yang setiap hari dijaga Kasmianto di Kecamatan Nglegok, Blitar. Keberadaan Sabo Dam tersebut menggantikan bendungan Belanda yang hancur akibat letusan tahun 1919. Ketika terjadi erupsi Kelud pada 1990, teknologi yang diperkenalkan ilmuwan asal Jepang, Tomoaki Yokota berhasil mengurangi erosi dan kerusakan lahan akibat terjangan banjir lahar Kelud.
“Selain untuk mitigasi, masyarakat Kediri dan Blitar kini banyak yang memanfaatkan Pleret Sabo Dam Nglegok sebagai jalur alternatif,” ujar Kasmianto.
Jika warga Kediri menggunakan jalur utama dengan tujuan ke Blitar ataupun sebaliknya, selain harus menempuh jarak lebih jauh, waktu yang digunakan juga relatif lebih lama. Belum lagi perhitungan bahan bakar minyak yang harus dikeluarkan. Alhasil, Jembatan lahar menjadi pilihan ekonomis. Dengan lebar jembatan yang hanya 5 meter, kendaraan roda empat yang melintas diatur dengan sistem buka-tutup.
Selain mobil dan motor pribadi, lalu lalang kendaraan di jembatan Sabo Dam Nglegok diwarnai dengan ratusan truk yang memuat pasir dari Sungai Badak. Hal itu membuktikan, meletusnya Gunung Kelud di samping menjadi bencana, juga merupakan berkah bagi masyarakat sekitar. Timbunan pasir yang terbawa lahar dingin akibat letusan Sang Kampud ke Kali Badak, tidak kunjung habis meskipun setiap hari digali. (M Yusuf Ashari)