SEBUAH patung kepala manusia yang digambarkan memakai masker itu berjudul “Tak Menghiraukan”. Karya seniman Jack S Riyadi terlihat unik: masker bukan menutup hidung dan mulut, akan tetapi menempel di mata. Lewat patung tersebut, dia ingin menyampaikan bahwa kini masyarakat mulai abai pada wabah Covid-19.
Bahasan lebih lanjut seputar patung serta kondisi seniman di masa pandemi akan digelar pada acara Pameran Virtual Stay@Home 2020. Diinisiasi oleh Asosiasi Pematung Indonesia (API) cabang Jakarta, acara ini didukung Edwin’s Gallery dan Galeri Nasional Indonesia.
Kegiatan bertajuk “Dulu, Kini, dan Esok” diwarnai pula dengan bincang reflektif dan presentasi karya. Sejumlah rangkaian acara tersebut berlangsung pada Senin, 14 September 2020 pukul 19.30 WIB – selesai, via aplikasi zoom meeting.
Partisipan pameran terdiri dari sepuluh karya perupa anggota API Jakarta. Di antaranya Agoes Salim, Agus Widodo, Budi Tobing, Yani Mariani, Cyca Leonita, Hardiman Radjab, Jack S Riyadi, Darwin, Henry The Koi dan Tedy Murdianto. Sedangkan narasumber Bincang Virtual, di antaranya para akademisi, praktisi, Kepala Galeri Nasional Indonesia, dan perwakilan dari Edwin’s Gallery.
Kurator Pameran Benny Ronald Tahalele mengatakan, dalam presentasi Pameran Virtual nantinya dibahas tentang bagaimana seniman merespon situasi pandemi. Salah satunya, tantangan yang dihadapi di era digital. Misalnya, tentang dorongan semangat terus berkarya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
“Semoga Pameran Stay@Home mampu memicu ide-ide yang lebih kreatif,” ujar Benny.
Dia menambahkan, dalam kondisi krisis biasanya seniman malah mampu maksimal menghasilkan karya-karya terbaik. Dengan perangkat digital, mereka tetap bisa melahirkan karya meskipun dari rumah dan studio masing-masing.
Acara Bincang Virtual juga akan menyingkap catatan-catatan sejarah. Seperti mengungkap bahwa seni patung sejak awal memang dekat dengan disiplin arsitektur, tinjauan, dan tata lanskap kota. Bahkan, adanya seni patung juga punya hubungan dengan gaya hidup masyarakat manusia urban yang dinamis.
“Dalam sejarah seni modern Indonesia, seni patung dengan karakter tiga dimensional ada kaitannya dengan para seniman-seniman Sanggar pada sekitar 1950-an di Yogjakarta dan kota besar lainnya di Jakarta dan Bandung,” kata Anusapati, akademisi dari Institut Seni Indonesia dan mantan Ketua Umum API Pusat, Yogjakarta.
Hadirnya acara pameran virtual ini dimanfaatkan juga sebagai upaya regenerasi dalam tubuh API. Edwin Rahardjo dari Edwin’s Galley mengatakan, hal itu dibutuhkan untuk memberikan penyegaran pada ruang-ruang publik seperti taman, gedung perkantoran, cafe. Berbagai bangunan tersebut memerlukan desain, bentuk, dan materi yang berbeda dibanding dengan masa lalu.
“Di zaman terkini, API harus mampu berkompetisi,” kata Edwin.
Pada acara pameran virtual, Ketua API Jakarta Agus Widodo akan memberi pengantar tentang perkembangan terkini. Misalnya tentang tantangan-tantangan kedepan API dalam abad digital dan bagaimana merespon itu dalam kepengurusan serta menjelaskan implementasi dari visi dan misi organisasi.
Narasumber pematung, Yani Mariani, dalam acara tersebut memberikan perspektifnya tentang proyek di Kepulauan Seribu pada 2019 dan partisipasinya dalam pameran ini. Sedangkan dari generasi milenial, pameran diwakili oleh Cyca Leonita. Pematung perempuan itu akan mempersentasikan karya yang mengungkapkan kehidupan personal urban dan sejumlah pengalaman sosialnya.
Perkembangan seni rupa hari ini telah melintas batas. Arah seni patung yang sejalan dengan laju zaman ini ditanggapi Ketua API Pusat, Arsono. Dia mengatakan, di kepengurusannya yang berlangsung sejak 2018, bertanggung jawab dalam membangkitkan kesadaran publik bahwa patung memberi paras khusus bagi perkembangan kota urban.
“Saya berharap API Pusat mulai menginisiasi rekaman arsip dan catatan-catatan sejarah untuk menyusun Buku Sejarah Patung Indonesia sejak tahun 50-an, yakni era Kesanggaran sampai API yang sekarang,” ujar Arsono.
Berdiri pada tahun 2000, Asosiasi Pematung Indonesia (API) adalah organisasi yang mewadahi pematung Indonesia untuk mengaktualisasi profesinya. Organisasi ini dibentuk dari kegelisahan seni patung di Indonesia yang belum berperan optimal di masyarakat. API diprakarsai di Yogyakarta oleh sekelompok pematung senior seperti G. Sidharta Soegijo, Pamungkas Garjito, Soewardi, Anusapati, Kasman KS dan para pematung muda seperti Syahrizal Koto, Komroden Haro, dan Rudi Mantofani.
Dalam upaya meningkatkan kemampuan, pengetahuan, wawasan, keterampilan, serta profesionalisme anggotanya, API menyelenggarakan ceramah, diskusi, dan workshop secara berkala. API juga mendukung penyelenggaraan pameran-pameran kelompok atau individual, sebagai komitmen lebih mendekatkan seni patung kepada publik. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post