MATAHARI belum menampakkan wujudnya, masih remang. Sepagi itu, Mbah Sarbi menuju masjid yang berjarak 300 meter dari rumahnya. Dia bersiap menunaikan salat subuh berjamaah.
Usai salat, kakek berusia 76 tahun merebus air untuk minuman sapi ternaknya. Setelah itu, suami Saini ini membersihkan kandang sapi. Lantas, membersihkan badan, sarapan, dan bersiap ke ladang kopi.
Menyusuri jalan setapak, Mbah Sarbi tak menghiraukan dinginnya udara pagi di daerah pegunungan. Ladangnya berada tak lebih dari 1 km dari rumah, di Dusun Krajan, Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Kawasan itu berada di ketinggian sekitar 700 mdpl.
Sinar matahari pagi yang baru menyingsing hangat, mengiringi langkahnya tiba ke ladang kopi miliknya. Di kebun seluas 5.000 m² itu, ada sekitar 5.000 pohon kopi jenis robusta. Sebagian lahan adalah tanah warisan para pendahulu, sebagian lagi dibeli dari hasil jerih keringatnya.
“Ladang kopi ini bagian terpenting dari kehidupan keluarga kami,” ujar Mbah Sarbi, Selasa, 15 September 2020.
Tanaman kopi sudah menjadi sandaran ekonomi ayah dari empat anak ini. Pengetahuan budidaya tumbuhan dengan nama latin coffea canephora, dipelajari dari pengalaman bertahun-tahun. Dalam istilah Jawa dikenal dengan ilmu titen atau mengamati.
Sejak kecil, Mbah Sarbi ikut orang tuanya merawat tanaman kopi itu. Melihat ketekunannya, lantas sang ayah mempercayakan lahan kopi kepadanya.
Sekitar 7-8 tahun lalu, warga Desa Kucur banyak yang mengganti tanaman komoditas kopi dengan tanaman jeruk. Tanaman kopi dianggap kurang menjanjikan secara ekonomi. Maka, berbondong-bondonglah tanaman kopi didongkel: ditanami bibit-bibit buah jeruk.
Di era pemerintahan orde baru, tanaman cengkeh yang lebih dulu ada juga dicabuti. Cengkeh banyak yang ditebang, seiring permasalahan seputar perdagangan yang saat itu dikelola Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh atau BPPC.
Ketika warga lain mengganti kopi dengan tanaman lain, namun tidak dengan Mbah Sarbi. “Kenapa harus diganti, kopi sangat cocok dengan lahan di sini,” ujarnya.
Setiap hari, kopi dirawat dengan memangkas dahan secara rutin atau miwil. Mbah Sarbi memilih pupuk kandang, kotoran ternak sapinya, serta kompos dedaunan untuk menyuburkan tanaman. Dia meyakini jika kopi diperlakukan dengan baik, tentu akan memberikan hasil yang baik pula.
Kopi yang dihasilkan dari kawasan Pegunungan Putri Tidur itu mempunyai citarasa khas. Tak heran, Pemerintah Hindia Belanda di era kolonial membangun konservasi lingkungan dengan tanaman kopi di daerah yang membujur di antara Gunung Buthak, Kawi, hingga Panderman itu.
Bila bubuk kopi murni tanpa campuran diseduh, akan muncul rasa pahit yang tipis cenderung gurih ketika diminum. Bahkan, setelah diteguk kemudian masuk ke tenggorokan rasa pahit gurih itu masih tertinggal di lidah.
Potensi berupa rasa khas itulah yang belakangan menggugah warga Desa Kucur. Hampir satu tahun terakhir, pemuda Karang Taruna mulai belajar mendalami tanaman kopi. Mereka menambatkan gagasan bersama dengan membentuk kelompok Republik Tani Mandiri (RTM).
“Kami membuat produk yang diberi nama Kopi Koetjoer,” kata Suliantono, Ketua RTM.
Lewat brand Kopi Koetjoer, mereka mencoba menjawab kegelisahan para petani kopi. Sebab, sampai hari ini sistem perdagangan belum menguntungkan petani. Dengan berdirinya RTM, mereka ingin mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian petani kopi di desa tersebut.
Di sisi lain, bantuan dari pemerintah memang ada. Misalnya pada tahap budidaya seperti pemberian subsidi bibit, pupuk, serta diberikan tenaga fasilitas penyuluh. Akan tetapi, hal tersebut dirasa tidak terlalu menopang perekonomian.
Begitu panen tiba, petani dibiarkan bertransaksi dengan para tengkulak. Akibatnya, banyak dari mereka tak mampu membuat harga pokok penjualan untuk produk yang ditanamnya sendiri. Padahal, Kopi Koetjoer berpotensi menghasilkan keuntungan jauh lebih banyak.
“Pengolahan penuh dari awal sampai akhir, mulai tanam, panen, produksi, hingga pengemasan, kita tangani secara mandiri,” ujarnya.
Biji-biji kopi mentah pilihan dipanggang atau roasting dengan level middle to dark. Sejauh ini RTM baru memproduksi jenis robusta. Berikutnya, mereka akan mengembangkannya ke varian kopi lain seperti arabica dan liberica.
Satu kemasan Kopi Koetjoer dengan berat 200 gram dihargai 20 ribu rupiah. Sedangkan 250 gram, dijual dengan harga 25 ribu rupiah. Sebagian besar hasil penjualan akan digunakan pemberdayaan petani kopi lokal. Seperti Mbah Sarbi dan petani kopi lainnya di Desa Kucur. (Tri Anom Suryandharu, Staf Karyawan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Ma Chung Malang)
Discussion about this post