SEBUAH pura berdiri di tengah pematang sawah, tak jauh dari kompleks situs pamuksan Sri Aji Jayabaya di Desa Pamenang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Lokasinya berjarak 200 meter di sebelah tenggara dari kawasan Sendang Buntung atau Tirta Kamandanu. Tepat di atas sepetak lahan yang bagi warga Bali dipercaya sebagai petilasan Empu Bharadah. Sosok legenda yang melekat dalam memori orang Bali, dan salah satu tokoh penting di lingkaran sejarah rakyat Kediri.
“Pembangunan Pura Mpu Bharadah ini sekitar tahun 1995 oleh seorang pengusaha dari Gianyar, Bali,“ kata Eko Harianto, juru kunci pura Mpu Bharadah, pada Selasa, 8 September 2020.

Menurut Eko, pengusaha itu mulanya sering mengajak pedanda, sebutan bagi pendeta Bali, datang dan bermeditasi ke kawasan petilasan Sri Aji Jayabaya. Suatu malam pedanda menerima wangsit. Ia melihat penampakan semacam teja, kilatan cahaya yang datang di areal persawahan. Pengusaha tersebut kemudian membeli sepetak tanah yang diyakini tempat suci itu, sekaligus membangun sebuah pura.
“Dulu di sekitar area sini ada seperti gundukan-gundukan tanah yang sekarang menjadi lokasi Pelinggih Padmasana,” kata Eko sambil menunjuk ke sebuah bangunan pemujaan utama dalam pura dengan rancang bangun khas Bali itu.
Di samping utara pelinggih setinggi sekitar 15 meter ini, terdapat arca Mpu Bharadah. Terbuat dari pahatan batu andesit, sosok pendeta bertasbih di jemari kanan dan membawa kendi di tangan kiri, memancang tegak lurus dengan Gapura Paduraksa. Seakan menyambut lawatan para peziarah, seketika membuka pintu gerbang penghubung halaman luar dan bagian dalam pura untuk sembahyang.

Khususnya untuk orang Jawa dan Bali, Empu Bharadah adalah tokoh yang diyakini hidup dan berperan penting di masa Kerajaan Kahuripan. Ia dikenang sebagai penasehat dan guru Raja Airlangga ketika berkuasa pada tahun 1009 – 1042 Masehi. Keberadaan pendeta Budha itu sangat istimewa, mengingat Kahuripan adalah kerajaan Hindu besar. Sosok kakek Empu Tantular –pencetus slogan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam kitab Sutasoma– itu melekat kuat dalam ingatan masyarakat Bali dan Kediri. Terutama sebagai salah satu tokoh sentral dalam lakon Calon Arang.
Dikisahkan dalam naskah lontar yang ditemukan di Bali, Empu Bharadah mendapat titah dari Raja Airlangga. Ia diperintahkan untuk menjinakkan pageblug yang melanda Desa Girah atau Jirah. Konon, kampung itu berada di sekitar Kediri yang kini benama Gurah. Wabah penyakit telah menewaskan mayoritas penduduk sekitar, akibat teluh dari seorang janda bernama Calon Arang. Wanita penganut ilmu hitam ini murka karena tidak ada orang yang mau melamar putri tunggalnya, Ratna Mangali.
Legenda Calon Arang mula-mula tertuliskan pada tahun 1540 Masehi dalam bentuk kidung. Format penulisan sastra khas Jawa kuno yang muncul dan berkembang di masa pertengahan hingga surutnya Majapahit. Kisah tersebut terbilang sangat populer di Bali sebagai cerita tutur maupun pentas pertunjukan. Baik tokoh Calon Arang maupun Empu Bharadah pernah disadur dalam sejumlah produk budaya populer modern. Di antaranya, novel Cerita Calon Arang gubahan maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Tokoh Empu Bharadah nyatanya bukan sekadar sosok dalam legenda. Kehadirannya disumbang pula sumber-sumber tertulis dari zaman Tumapel-Singasari dan Majapahit. Sebut saja Prasasti Wuware. Ditemukan dalam bentuk sajak yang terukir di atas arca pendeta Budha yang lazim disebut Joko Dolog. Dalam piagam peninggalan Raja Kertanegara pada tahun 1289 Masehi, Empu Bharadah diungkapkan sebagai begawan sakti. Seorang petapa yang membantu Raja Airlangga membagi wilayah Kahuripan menjadi dua kerajaan, Jenggala dan Kadiri.
Hikayat sang pandita termuat juga dalam kitab Desawarnana atau Nagarakretagama. Kakawain yang dirampungkan Empu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, masa pertengahan kerajaan Majapahit. Karya sastra ini memberikan gambaran yang lebih kaya dari cerita dalam Prasasti Wuware. Tidak cuma soal pemecahan wilayah Kahuripan menjadi Jenggala dan Kadiri. Turut diriwayatkan bahwa pembagian itu dilakukan Raja Airlangga sebagai cara pewarisan kekuasaan untuk dua putranya, Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya.
Melihat cukup banyaknya sumber tentang begawan sakti itu, Empu Bharadah terbilang cukup bisa diyakini sebagai tokoh historis. Berdasarkan keterangan di Serat Calon Arang dan Kakawin Nagarakretagama, Empu Bharadah tinggal di padepokan di kawasan bernama Lemah Citra atau Lemah Tulis. Posisi wilayah ini belum diketahui secara pasti, namun silang pendapat para pemerhati sejarah mengarah ke beberapa daerah.
Berlandaskan bukti-bukti sejarah tersebut, sebagian kalangan beranggapan titik lokasi pertapaan Empu Bharadah berada di Blora, Jawa Tengah. Namun tak sedikit dugaan mengerucut di dua tempat di Jawa Timur. Kedua petilasan itu meliputi Desa Watu Tulis, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo; dan kawasan Kedung Wulan di situs Trowulan, Mojokerto.
“Tapi sampai saat ini, belum ada bukti-bukti arkeologis yang kuat atau prastasti dan inskripsi apapun yang mendukung adanya petilasan Empu Bharadah di daerah Pamenang, Kediri,” kata Seno Joko Suyono, pendiri dan kurator Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF).

Pada akhir Juli 2019 lalu, Seno menyempatkan diri mengunjungi Pura Mpu Bharadah, di sela aktivitas menelusuri candi-candi di Kediri dalam rangka mendukung kegiatan BWCF. Saat melawat, ia turut menyaksikan satu bus penuh keluarga dari Bali melakukan ibadah di situs itu.
Bagi Seno, pemandangan tersebut cukup masuk akal. Karena Empu Bharadah beserta empat kakaknya; Empu Gni Jaya, Empu Semeru, Empu Gana, dan Empu Kuturuan adalah pemimpin agama yang sangat berpengaruh di Bali dan Jawa Timur. Bahkan bila mencermati lebih lanjut, garis keturunan dari jalur Empu Bharadah sampai ke empu-empu pelopor di Bali.
Silisilah kelima pendeta Budha itu terpampang di lingkup Pura Mpu Bharadah. Terpasang menyatu pada dinding pendopo di samping gapura. Rimbunan daun preh yang menaungi pendopo, membuat siapa saja kian betah berleha-leha di sana. Baik para peziarah yang ingin beribadah, maupun orang-orang yang tak rela kehilangan sejarah. (Naim Ali)
Discussion about this post