TERIK matahari hampir pudar ketika sebuah bus memasuki Kota Badar. Armada berisi 35 orang jamaah umrah asal Indonesia yang didampingi Bariklana Tour, penyelenggara umrah dan haji khusus ini baru merapat dari Kota Madinah. Sejatinya, tujuan akhir perjalanan di Tanah Suci itu ialah untuk beribadah di Masjidil Haram di Kota Mekah. Namun pada Kamis, 30 Januari 2020, rute rombongan musafir sengaja berbelok arah ke barat daya. Melintasi padang luas dengan bukit-bukit berpasir sepanjang 160 Kilometer. Mereka menembus ke lokasi terjadinya pertempuran bersejarah bernama Perang Badar.
“Kami sengaja mengagendakan ziarah ke Kota Badar, karena tak ingin terlewat menyaksikan kawasan penting dalam sejarah awal perkembangan Islam,” kata Addullah Mufid Mubarok, Direktur Bariklana Tour.
Kota berpenghuni sekitar 15 ribu orang ini sebetulnya berada di atas lembah. Menghampar di antara Kota Madinah dan Laut Merah, di sekeliling gurun dan bukit-bukit berpasir yang curam. Pada masa lampau, wilayah kaya sumber air ini adalah persinggahan strategis kafilah Mekah ketika melakukan perjalanan pulang dari Suriah.
Nama kawasan itu kini abadi karena pernah menjadi lokasi pertempuran tak terlupakan. Sebuah peristiwa yang menunjukkan keberhasilan Nabi Muhammad sanggup menantang monopoli kekuasaan Mekah. Kemenangan yang juga turut mengangkat reputasi Kota Yatsrib di kalangan Badui dan suku-suku di sekitarnya.
Bila menengok jauh ke belakang, Perang Badar tak ubahnya seumpama bom waktu. Meski Muhammad telah mengira bakal terjadi pertikaian besar, namun ia tidak menyangka akhirnya meledak di Lembah Badar. Perang ini terjadi pada tahun kedua Muhammad menetap di Madinah. Ia hijrah dari Mekah karena intimidasi bertubi-tubi kaum Quraisy pimpinan Amr bin Hisyam alias Abu Jahal.
Konflik makin meruncing kala kaum Muhajirin –penduduk Mekah muslim yang ikut hijrah– melancarkan serangkaian Ghazwu. Sebuah aksi pencegatan dan penyerangan demi bertahan hidup yang biasa dilakukan masyarakat Arab nomaden. Hal itu terpaksa dilakukan karena mereka mengalami kesulitan mencari nafkah di Madinah. Tapi Ghazwu hanya menyasar kafilah dagang Quraisy Mekah. Sebagai upaya mengambil harta benda, hewan ternak, hasil dagang.
Meski seraya menghindari jatuhnya korban jiwa, petaka dalam misi Ghazwu tak terelakkan juga. Insiden itu terjadi di bulan Rajab yang dianggap suci golongan penyembah berhala. Satu dari tiga pedagang Quraisy Mekah yang berkemah di Lembah Nakhlah tewas. Sehingga menambah kemarahan dan dendam di kalangan Quraisy Mekah. Maka, ketika Abu Jahal mendengar karavan saudagar Abu Sufyan dicegat di Lembah Badar dua bulan kemudian, tak butuh waktu lama untuk segera menyusul sembari membawa pasukan.
Total rombongan Abu Jahal ada sekitar 1000 orang, 700 unta, 300 kuda, dan 600 persenjataan lengkap. Mereka siap menghadapi kelompok Nabi Muhammad, yang hanya berjumlah 313 muslim dengan 70 ekor unta, 2 ekor kuda, 8 pedang, dan 6 baju perang.
Tepat tanggal 17 Ramadan tahun kedua Hijriah, atau 13 Maret 624 Masehi, pertempuran besar pertama yang dilalui kaum muslimin pecah. Perang yang diakhiri dengan kemenangan umat Islam. Tersebab, mereka unggul atas kedisiplinan pasukan. Bergerak dalam satu satu komando dan terlatih. Sigap menguasai medan, apalagi berhasil mengisolir sumur-sumur air.
Kekalahan dialami Quraisy karena hanya mengandalkan keberanian. Terutama, mereka bertempur dalam gaya arab kuno dan sembrono. Setiap klan memimpin pasukannya sediri, bahkan masing-masing memiliki motivasi berbeda. Seperti balas dendam, berebut harta, hingga meraih status sosial.
Oleh sebab kecerobohan itu, sedikitnya 70 orang Quraisy terbunuh, termasuk Abu Jahal. Sementara kubu pasukan muslim gugur sebanyak 14 orang. Makam keempat belas Syuhada itu hingga kini masih bisa dijumpai di Lembah Badar. Wujudnya ditandai oleh bebatuan tanpa tulisan sebagai nisan. Berada dalam area perkuburan tertutup tembok setinggi tiga Meter. Tak jauh dari perkuburan, berdiri sebuah bangunan membentuk tugu. Sebagai media pemajang nama-nama para pejuang yang syahid di medan laga.
Mengingat pentingnya peristiwa sejarah Perang Badar bagi umat Islam, maka Bariklana Tour terus berupaya mengajak jamaahnya berziarah ke wilayah dataran rendah itu. Sayangnya, untuk mencapai Badar Hunain tak semudah memasuki destinasi historis lain di daratan Saudi Arabia.
“Peziarah yang berkunjung di sini rata-rata hanya sekelompok kecil atau datang sendiri dengan kendaraan pribadi,” ujar Mufid.
Menurut alumni Pondok Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang ini, hal tersebut berlaku karena rute menuju Kota Badar jauh menyimpang dari jalur utama Mekah ke Madinah, atau sebaliknya. Lebih-lebih, destinasi wisata religi itu terkesan sunyi tanpa pengelolaan berarti. Padahal Perang Badar adalah satu dari sedikit perang besar yang disinggung dalam Al Quran, seperti pada Surat Ali Imran, ayat 123-125. Sementara panggilan jihad yang mendorong Muhammad memerintahkan aksi Ghazwu, tercatat dalam Surat Al Hajj, ayat 29-40.
Sampai saat ini, Bariklana Tour menjadi satu-satunya penyelenggara umrah dan haji khusus asal Indonesia yang membawa sejumlah rombongan besar melawat Kota Badar. Bahkan biro travel berbasis di Kota Bojonegoro, Jawa Timur ini rutin menyertakan Badar dalam program wisata halal, bersanding dengan paket-paket perjalanan lain ke berbagai kawasan mancanegara. Seperti Uzbekistan, Mesir, Turki, hingga Maroko.
“Tiap tahun, sedikitnya seribu orang jamaah umroh dan haji dari seluruh Indonesia diberangkatkan oleh Bariklana Tour,” kata Mufid.
Upaya itu akan terus digencarkan, sembari mengajak tadabur pada peninggalan-peninggalan sejarah Islam di masa silam. Sebagaimana saat para jamaah memasuki Masjid Al Arish. Mereka sama-sama mengenang titik lokasi pendirian kemah Nabi Muhammad. Tempat ia memimpin dan mengawal pertempuran di Lembah Badar. (Naim Ali)
Discussion about this post