LANTUNAN ayat Al-Qur’an bergema dari pengeras suara Masjid Baitul Munir Desa Besowo, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri. Dua pria bersarung tampak setengah berlari karena ibadah salat Jumat sebentar lagi dimulai. Beberapa langkah sebelum mencapai halaman masjid, keduanya berhenti di depan gereja, hendak membasuh kaki dan mengambil air wudu.
Tempat ibadah umat muslim dan kristen di Desa Besowo ini letaknya berhadap-hadapan. Masjid dibangun pada 1966, bersamaan dengan berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Besowo.

Di dekat pagar gereja itu terdapat tandon air. Sehari-hari, air dari tangki digunakan untuk kebutuhan sehari-hari pengurus gereja. Jika desa dilanda kekeringan, tandon air gereja dimanfaatkan masyarakat pemeluk agama Islam untuk berwudu, serta keperluan air minum warga di desa yang berada di utara Gunung Kelud itu.
“Tandon didirikan melalui gotong royong warga setelah erupsi Gunung Kelud tahun 2014,” kata Saptoro, Wakil Pendeta GKJW Jemaat Besowo, Minggu, 7 Januari 2024.
Dia tak menyangka bahwa erupsi Gunung Kelud sepuluh tahun lalu semakin menguatkan toleransi umat beragama di Besowo. Meletusnya “Sang Kamput” menghancurkan bangunan hingga mematikan sumber air desa. Di pengungsian, Saptoro bertemu peneliti asal Filipina dan Korea yang berniat mencari mata air baru di lereng Kelud.
Dari perjumpaan itu, warga diberitahu jika terdapat sumber air di belakang gereja. Namun, letaknya 120 meter di bawah jurang. Mata air tersebut berasal dari pepohonan lebat, jadi tidak akan mengering ataupun keruh. Usai erupsi mereda, warga kembali ke desa. Umat Islam, Kristen, Hindu, dan Penghayat, bergotong-royong membangun tandon air di selatan pagar gereja.

“Sumber air dari belakang gereja boleh dimanfaatkan siapa saja,” kata Saptoro.
Pria dua anak itu menambahkan, toleransi umat beragama di Desa Besowo ini sudah terbentuk sejak 1989 melalui GATRA (Gerakan Toleransi antar Agama). Gerakan ini digagas para tokoh lintas agama di desa Besowo. Melalui organisasi ini, mereka saling menjaga kerukunan, salah satunya melalui berbagai kegiatan yang dilakukan bersama.
Potret kerukunan itu tercermin dari perayaan hari besar di desa. Ketika Natal misalnya, umat Muslim, Hindu dan Penghayat, turut mengamankan berjalannya perayaan. Mereka menjadi petugas yang menertibkan kendaraan para jemaat gereja dan mengatur lalu lintas di jalan desa.
“Sudah menjadi rutinitas ketika perayan hari besar kami menjadi petugas keamanan,” kata Sawiji, Takmir Masjid Jami’ Baitul Munir Besowo.
Saat hari kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat menggelar acara di lapangan desa yang menyuguhkan penampilan dari setiap agama. Ada tarian dari umat Hindu, rebana dari umat Muslim, dan penampilan musik dari umat Kristen.
Sawiji menambahkan, ketika hari raya Idulfitri, umat Kristen dan Hindu bergantian membantu menjaga keamanan. Begitu pula saat perayaan Nyepi, saat prosesi iring-iringan Ogoh-ogoh. Di hari-hari besar itu dia bersilaturahmi ke rumah umat Kristiani dan Hindu, begitu juga sebaliknya. (Moh. Yusro Safi’udin)
Discussion about this post