RATUSAN tahun silam, Kerajaan Majapahit—sebuah imperium raksasa di masa lalu—lahir dari kawasan lembah Sungai Brantas. Didirikan pada tahun 1293, daerah kekuasaannya konon terbentang mulai dari seluruh nusantara hingga kepulauan Filipina dan Kamboja. Dalam kitab Pararaton disebutkan, nama Majapahit terinspirasi dari buah maja yang rasanya pahit.
Seperti kebanyakan daerah di sepanjang Sungai Brantas, kawasan yang dulu masih berupa hutan belantara itu banyak ditumbuhi pohon maja. Buah ini berukuran sekepalan tangan orang dewasa. Warna kulit luarnya hijau tetapi isinya berwarna kuning atau jingga.
Keberadaan buah maja di tlatah Jawa, bisa jadi mendahului beragam lapisan peradaban kerajaan. Eksistensinya menjadi cikal bakal lahirnya penamaan banyak kawasan atau biasa disebut toponimi.
Dari kajian botani, tanaman dengan nama latin Aegle marmelos merupakan tumbuhan khas tropis dataran rendah yang dipengaruhi ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Termasuk, kawasan di mana Majapahit berdiri, diperkirakan terletak di Alas Tarik atau kini dikenal dengan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
“Jika ada daerah memakai prefiks mojo-, kemungkinan besar ada hubungannya sama pohon maja yang tumbuh di pinggir Sungai Brantas,” kata Aang Pambudi Nugroho, Ketua Komunitas Jawa Kuno Sutasoma, Selasa 16 Februari 2021.

Pendapat Aang itu diperkuat dengan keterangan di buku berjudul “Tafsir Sejarah Nagarakretagama” karangan Slamet Muljana. Dalam buku yang terbit tahun 1979 itu, Slamet Muljana menjelaskan bahwa pada kebudayaan Jawa, penyebutan nama suatu daerah disesuaikan dengan situasi tertentu. Baik itu kondisi alam, flora, maupun fauna yang khas di suatu kawasan.
Selain Majapahit, kini masih dapat ditemui daerah yang memakai awalan “Mojo”. Misalnya, Kabupaten Mojokerto yang dipercaya dulunya menjadi pusat Kerajaan Majapahit.
Kawasan lain yang menggunakan awalan serupa tersebar di sejumlah wilayah dekat DAS Brantas. Di antaranya, Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah, Mojotrisno, Mojongapit, dan Mojokuripan yang berada di Kabupaten Jombang. Sedangkan di daerah Kediri, ada kawasan bernama Mojoroto dan Mojo. Ada pula wilayah bernama Mojosari yang terletak di Kabupaten Nganjuk dan Tulungagung.
Di luar kawasan DAS Brantas, daerah berawalan mojo juga dapat dijumpai. Di antaranya, Desa Mojodelik di Kabupaten Bojonegoro, Desa Mojolegi Boyolali di Jawa Tengah, maupun Kabupaten Majalengka di Jawa Barat. Kesamaan penggunaan nama mojo itu barangkali dipengaruhi berbagai faktor. Misalnya migrasi penduduk atau keterpengaruhan budaya.
Jika di Jawa buah maja banyak diserap menjadi nama kawasan, lain halnya di ranah spiritual. Dalam kepercayaan Hindu, tumbuhan ini dianggap sebagai tumbuhan titisan Dewa Syiwa. Kisah tentang penganut Dewa Syiwa yang hingga kini masih dibicarakan, salah satunya Calonarang. Dia adalah janda sakti asal Desa Girah yang menyebarkan wabah penyakit di Kerajaan Kediri pada masa Raja Airlangga.
Sedangkan dari sisi arkeologis, penemuan situs Tondowongso di Desa Gurah, Kabupaten Kediri menguatkan jika aliran Hindu Syiwa sangat berkembang di masa lampau. Pada bulan Januari 2007, ditemukan Arca Dewa Syiwa berkepala empat dan Arca Ardhanari yang melambangkan persatuan antara Dewa Syiwa dengan istrinya, Parwati atau Btari Durga.
Pemuliaan pada tumbuhan dalam kepercayaan Hindu itu mirip seperti kisah Sidharta Gautama dengan Pohon Bodhi. Dalam ajaran Budha, pohon itu adalah tempat naungan Sang Petapa Gautama untuk mencapai kesempurnaan. Pohon Bodhi dihormati sebagai simbol keagungan dan kebijaksanaan Sang Buddha.
“Hubungan antara buah maja dan praktek kepercayaan Hindu Siwa di Kediri perlu diteliti lebih lanjut,” ujar Aang. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post