JIKA pada suatu ketika pergi ke India, persiapkan lidah dan perut Anda. Jenis makanannya tidak selalu membuat lidah dan perut orang Indonesia merasa nyaman. Dan porsinya selalu jumbo!
Ciri utama masakan India adalah penggunaan bumbu dan rempah-rempah yang beraneka macam. Makanan pokok mereka beras, tapi bulir berasnya lebih besar dan panjang dibanding beras yang kita kenal di Indonesia. Namanya basmati. Nah, setiap hari kami menyantap nasi biryani. Nasi berbumbu, seperti nasi kebuli. Tidak ada sayur-sayuran berkuah seperti di Indonesia. Sayur lodeh apalagi. Pada suatu hari, saking kepinginnya makan nasi putih biasa, istri saya mengajak mampir ke KFC. Eh, di situ ketemunya nasi biryani juga!
Orang India umumnya menggunakan rempah-rempah untuk bumbu masakannya. Juga untuk minuman. Hebatnya, India merupakan produsen rempah-rempah terbesar di dunia. Negeri ini menggunakan sekitar 13% dari total luas wilayahnya untuk menanam tanaman penghasil rempah, dan mampu memproduksi sekitar 6 juta ton rempah per tahun. Tidak kurang dari 160 negara mengimpor rempah dari India.
O ya, jangan mencari kopi atau teh di India. Saya sudah mencari ke mana-mana tapi tidak menemukannya. Di rumah makan atau resto hotel yang tersedia hanya Masala Chai (teh masala). Inilah minuman favorit orang India. Teh dicampur rempah-rempah dan susu kambing. Orang India tidak minum susu sapi.
Warga Muslim juga tidak mengonsumsi daging atau susu sapi, sebagai bentuk penghormatan terhadap warga Hindu. Mereka menggantinya dengan daging dan susu kerbau atau kambing. Pada Hari Raya Idul Adha, kaum Muslim tidak menyembelih sapi. Begitulah mereka membangun toleransi antarumat beragama. Bagi masyarakat Hindu, sapi adalah hewan suci. Mereka menyebutnya “Gaye Hamari Mata Hai” (sapi adalah ibunda kami).
Di berbagai tempat yang kami kunjungi, ketika mereka mengetahui bahwa kami berasal dari Indonesia, wajah mereka berubah menjadi lebih ramah. Ya, masyarakat India menaruh hormat pada bangsa Indonesia, yang mereka anggap memiliki toleransi tinggi. Sampai sekarang candi-candi Hindu bertebaran di Indonesia dan benar-benar dilestarikan meski mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Di India, dalam perjalanan sejarahnya, ribuan candi Hindu dihancurkan oleh orang-orang Islam yang ketika itu sedang berkuasa.
Tidak mengherankan jika masyarakat Hidu di sana berseru pada saudara-saudaranya yang beragama Islam: “Contohlah Islam-nya orang Indonesia. Jangan mencontoh Timur Tengah!”
Mustaq, tour guide kami, adalah seorang pemuda muslim yang ramah dan gemar bernyanyi. Tentu saja yang dia nyanyikan adalah lagu-lagu India. Dia cukup terkesan ketika saya dapat menyebut banyak nama penyanyi India plus lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Saya pamer menyanyikan sebuah lagu yang pernah ngetop di Indonesia: Tum Hi Ho. Mustaq terkagum-kagum, bahkan menganggap suara saya setingkat lebih merdu dibanding Arijit Singh si penyanyi asli. Hehehehe…
Kami mengunjungi sebuah toko musik yang menjual berbagai macam instrumen musik khas India. Tidak ingin membeli, hanya terpikat pada kalimat di brosur: “Anda ingin menyanyi lagu India? Mampirlah. Kami siap mengiringi”. Nah, saya menyanyi beberapa lagu India di sana. Tentu saja sambil berjoget ria, diiringi sekelompok musisi secara live. Nara juga menyanyikan dua buah lagu. Saya sempat terkejut, saya kira penyanyi profesional seperti Nara akan merasa gengsi menyanyikan lagu Bollywood. Benar kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Ketika nonton film-film Bollywood, Anda pasti hapal dengan stereotip ini: Seluruh personil kepolisian India tampak memble dan lucu; hanya Kapten Vijay seoranglah yang hebat. Tapi dalam dunia nyata, jangan pernah berpikir untuk menyepelekan India. Pertumbuhan ekonomi negara ini adalah salah satu yang tercepat di dunia. Negara ini juga memiliki jumlah militer terbesar, dan memiliki kemampuan senjata nuklir!
Pertumbuhan ekonomi India cukup fantastis pada dua dasawarsa terakhir. Sebagai contoh, pada 2003 angka pertumbuhannya sudah mencapai 8%. Meski demikian, seperempat dari penduduk India masih hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah itu setara dengan seluruh penduduk Indonesia!
Penduduk India yang secara ekonomi berada di kelas menengah jumlahnya cukup besar, mereka bergerak di bidang industri teknologi informasi. Jika sebelum era milenium ekonomi India banyak tergantung pada pertanian, kini tidak lagi. Sektor pertanian hanya menyumbang kurang dari 25% pada pendapatan nasional. Industri yang terus berkembang adalah film, tekstil, teknologi informasi, dan kerajinan tangan. Pada saat ini India telah menjadi salah satu raksasa di bidang software.
Meski terbilang sangat terlambat, namun industri pariwisata India sedang bergerak naik. Masih belum signifikan, belum mampu berperan penting bagi ekonomi nasional. India hanya dikunjungi sekitar 3 juta wisatawan asing setiap tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang di tahun 2018 saja sudah mencapai kunjungan 12 juta wisatawan mancanegara. Meskipun sebenarnya angka pariwisata kita ini masih kalah jauh dibanding Malaysia dan Thailand).
Dua hari sebelum kembali ke tanah air, kami tiba di ibu kota India: New Delhi. Landmark kota ini adalah India Gate, sebuah monumen yang didirikan untuk memperingati pengorbanan 90.000 tentara India-Britania yang tewas membela Imperium Britanian di India saat Perang Dunia I.
Di tempat inilah puncak cerita saya selama berkunjung ke India. Di India Gate yang bersejarah itu, ketika saya berkonsentrasi penuh agar menghasilkan foto terbaik berkelas Pulitzer Prize, tiba-tiba seseorang mengkorek-korek lubang telinga saya. Saya kaget bukan kepalang. Seorang lelaki berperawakan kecil, berkulit hitam dekil, dengan wajah serius menunjukkan cotton bath yang ujungnya penuh kotoran menggumpal.
“Kuping Anda bermasalah, Pak,” ujarnya dalam bahasa Inggris dengan logat khas preman kampung dalam film-film Bollywood. Saya terheran-heran. Itu kotoran segede gajah dia cungkil dari telinga saya?
“Kalau ke dokter THT, Anda harus bayar 5000 rupee, Pak. Untuk jasa saya, Anda hanya perlu membayar 1000 rupee saja”. Kurs satu rupee kurang lebih Rp 200. Jadi, saya harus membayar Rp 200.000 untuk ongkos korek kuping? Di Jember, ongkos cuci mobil saja cuma Rp 30.000. Itu pun saya memilih nyuci mobil sendiri, gratis.
Ini pemerasan! Saya buru-buru menghindar, tapi si dekil itu terus membuntuti saya sambil menagih uang jasa korek kuping 1000 rupee. Tentu saja diselingi adegan debat kusir, seperti dalam film Bollywood. Karena merasa risih, akhirnya saya menghampiri istri saya dan minta uang 1000 rupee. Bukannya dikasih, saya malah diomeli panjang lebar.
Akhirnya saya minta pada Nara, eh, cuma diberi 200 rupee. Saya berikan uang itu pada si dekil. Dia menerimanya sambil marah-marah dalam bahasa Hindi. Saya membalas omelannya dalam bahasa Hindu juga, dengan lancar dan lengkap; saya ambil dari syair lagu Kuch Kuch Hota Hai. Episode “The Journey to India” kali ini hanya menyusuri tiga negara bagian. Itu pun hanya di jalur wisata, masih jauh dari jantung peradaban India yang sebenarnya. Saya bertekad menabung lagi, mudah-mudahan suatu ketika Tuhan mengijinkan kami jalan-jalan ke sana lagi. Amiin. (Dr. M. Ilham Zoebazary, M.Si, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember)
Baca juga:
Pink City, Eksotika dan Kemiskinan—The Journey to India 1
Perempuan-perempuan Cantik di Istana Angin—The Journey to India 2
Discussion about this post